Amarah Bojah tidak terbendung, hampir saja dia mengusir Sudirman, ayahnya, tepat di hari ulang tahunnya yang ketujuh belas.
“Ibu selalu memberikan hadiah yang mewah untukku, tidak seperti Ayah!”
“Ayah tidak punya uang sebanyak ibumu, Nak. Lagi pula ibu sudah tidak pernah pulang lagi lebih dari satu tahun ini.”
“Karena Ayah udik, bikin malu.”
“Sudah saatnya bajaj ini diwariskan kepadamu, mataku sudah mulai rabun.”
“Untuk apa? Ayah memintaku untuk bekerja? Aku tidak mau! Sama seperti Ayah menyuruhku sekolah, aku tidak mau. Aku mau bebas!”
“Ayah ingin mengajarkanmu caranya mencari uang, agar kelak kau tidak kebingungan saat sudah tamat sekolah.”
“Ayah masih mengira aku akan tamat? Tidak akan, aku sudah bolos satu bulan ini.”
“Kenapa, Nak?”
“Kenapa? Aku tidak mau sekolah, lagi pula Ayah tidak juga membayar uang buku dan modul.”
“Besok akan Ayah lunasi.”
Bojah hanya tertawa, dia mengambil tas sandangnya, kemudian berlalu pergi. Dia membanting pintu kayu yang lapuk. Sudirman hanya berdiri, tiba-tiba pelupuk matanya basah.
“Aku orang tua yang gagal,” katanya sendu.
***
Bojah berhasil mengambil tas milik seorang pria kaya yang sedang berdiri di pinggir jalan. Dia bersembunyi di dalam selokan yang gelap.
Dia membuka tas hasil curiannya. Bojah melihat beberapa lembar foto dan uang kisaran satu juta rupiah.
“Banyak juga uang bapak ini, tidak salah aku merampas tasnya.”
Bojah hanya mengambil uang, sisanya dibiarkan mengalir terbawa air selokan. Dia mulai berjalan pelan menuju ujung selokan, cahaya mulai tampak. Bojah mendekati cahaya itu, sembari mendengar suara warga yang sejak tadi berteriak “copet”.
***
Sudah lama dia tidak berani menginjakkan kakinya ke rumah itu, namun Sudirman harus melakukannya. Dia bertemu Basuki, mantan atasan yang dahulu pemilik bajaj tua yang dihadiahkannya kepada Bojah. Basuki memberikan bajaj itu gratis karena dia memilih untuk menjadi pengusaha taksi.
“Utangmu saja lima puluh juta belum lunas, sekarang kau ingin meminjam lagi?”
“Aku harus membayar kebutuhan sekolah anakku.”
“Aku tidak peduli dengan anakmu itu, tahukah kau apa yang dilakukan anakmu kepadaku?”
“Aku tidak mengerti apa yang Bapak katakan.”
“Bojah mencuri tasku pagi tadi, dia mengambil uangku.”
Sontak Sudirman kaget mendengarnya, Sudirman meminta maaf sembari bersujud di hadapan Basuki.
“Aku memasukkan kerugian itu ke dalam utangmu, kau yang harus membayarnya.” Tidak ada jawaban dari Sudirman, dia hanya memandang hampa. “Utang itu harus dibayar dalam tiga hari.”
Sudirman sempat berpikir untuk menghubungi istrinya, tapi dia ragu. Sudirman tidak pernah menghalangi istrinya untuk pergi, dia merasa gagal menjadi suami. Dia menuju bajaj tua yang selama ini menghiasi kehidupannya sejak remaja dan mengelusnya. Sudirman terpejam, merasakan tubuh bajai yang mulai rapuh. “Aku akan kembali mengendarai bajaj ini untuk mencari uang,” tekadnya.
***
Orang-orang berkumpul di pinggir kali, terjadi kecelakaan tunggal di sana. Melihat kondisi itu Bojah mengambil kesempatan untuk mencopet, dia melihat seorang wanita berdiri di pinggir jalan. Saat dia hendak mengambil dompet wanita itu diam diam, tiba-tiba saja aksi itu terhenti.
“Ibu!” ujar Bojah sembari ingin memeluknya.
Ibu tidak merespons, dia berteriak minta tolong. Basuki datang menghampirinya dengan marah.
“Dasar anak bajingan, jauhi kekasihku!”
Sontak hati Bojah terluka, dia tidak menyangka ternyata selama ini Ibu menjalin hubungan terlarang bersama Basuki. Bojah mengepalkan tangan hendak memukul Basuki. Hari itu Bojah hampir kritis karena tidak kuasa melawan dua pengawal Basuki.
“Apakah kau tahu siapa yang kecelakaan barusan?” Basuki menarik rambut Bojah yang tidak kuasa berdiri.
“Ayahmu kecelakaan dan meninggal, bajajnya yang rongsokan itu masuk kali dan terbawa arus. Kini utangnya diwariskan kepadamu. Kau harus membayarnya minggu ini!” Basuki dan Ibu pergi meninggalkan Bojah yang terkapar.
***
“Aku sudah muak, aku lapar!”
Bojah melempar kursi kayu ke arah bajai peninggalan ayah yang mulai remuk karena kecelakaan tunggal. Sepanjang malam Bojah memukulnya sembari meneguk minuman keras.
“Bisakah kau memberiku uang?”
Bojah mengambil palu kemudian menghancurkan spion bajaj warisan ayahnya. Dia hendak mengayunkan palu itu sekuat tenaga, tiba-tiba terhenti saat azan Subuh berkumandang. Bojah kemudian bersandar di dinding sembari terduduk dan mulai menangis.
“Ayo berdiri, Nak. Sudah waktunya salat,” Ayah mengulurkan tangannya. Bojah menghapus air matanya, kemudian mengambil wudu. Bojah membentangkan sajadah merah yang selalu digunakan ayah.
“Aku ingin pulang kepada-Mu…”
Ayah tersenyum ke arah Bojah dari sudut ruangan. Saat angin berembus kencang bayangan Ayah tiba-tiba menghilang. Bojah bersujud, tiba-tiba pelupuk matanya basah.
***
“Beri aku waktu.”
“Waktumu sudah habis. Sebagai gantinya, aku ingin mengambil rumah ini.”
Sontak Bojah terkejut, dia hanya membiarkan pengawal Basuki menggeledah rumah. Mereka memasang tanda dengan bertuliskan “Rumah Ini Milik Pak Basuki” di dinding luar. Mereka juga merampas surat-surat terkait tanah dan bangunan.
“Tapi aku mohon jangan ambil bajaj ini, Pak,” pinta Bojah dengan penuh harap.
“Aku memberikan bajaj ini kepada ayahmu karena sudah kuno. Saat ini aku sudah menjadi pengusaha taksi dan sukses, kau ambil saja besi bekas ini.”
Bojah mendekati bajaj, dia memperbaiki spionnya yang copot. Tangannya yang hitam itu mengelus tubuh bajaj yang usang. Dia menghela napas panjang dan memejamkan matanya yang sembab.
Bojah mulai menaiki bajaj seperti yang dilakukan ayah. Dia menghidupkan mesin, melihat ke arah rumah.
“Sampai jumpa lagi,” katanya sembari menjalankan bajaj menuju jalanan.
***
Sudah setengah hari dia mangkal di depan Monumen Nasional, namun tidak juga mendapatkan penumpang. Bajaj sudah dianggapnya sebagai rumah, Bojah tidur di sana. Sudah dua hari dia tidak makan. Dia turun dan mengorek tong sampah di dekat trotoar.
Bojah gembira karena mendapatkan nasi bungkus bekas yang masih menyisakan sedikit nasi dan lauk. Dia kembali nongkrong di atas bajaj, kemudian melahap sisa nasi itu.
“Bisa antarkan saya ke Thamrin?”
“Bisa, Mas. Ayo silakan naik.”
Bojah menyimpan makanannya, dia senang mendapatkan penumpang pertamanya.
Kini ia berusaha mencari topik pembicaraan.
“Kenapa banyak yang tidak mau naik bajaj saat ini ya, Mas?” pancingnya.
“Ya bagaimana lagi, naik bajaj itu rumit. Harganya tidak pasti, tidak praktis seperti transportasi online.”
Bojah diam sejenak, dia bertanya-tanya kenapa ayah tidak beralih ke transportasi online saja. Tapi sepertinya ayah tidak paham teknologi.
“Kalau saja bajaj ada yang online, mungkin sudah banyak yang mau naik,” kata penumpang itu akhirnya.
Bajaj berhenti di daerah Thamrin, penumpang memberikan uang lima puluh ribu. Saat Bojah membeli air mineral di warung, ia memarkir bajaj sembari menunggu penumpang berikutnya. Selama penantian itulah Bojah terus berpikir dan merenung, hingga terbesit suatu ide dalam benaknya.
***
“Tolong pesan satu bajaj menuju Museum Nasional. Posisi saya saat ini ada di Thamrin.”
“Siap, bajaj sedang menuju lokasi harap menunggu pengemudi kami menghubungi ya, Pak.”
Usaha Bajaj Online milik Bojah kini sudah dikenal masyarakat. Walaupun belum dalam bentuk aplikasi, hanya dalam bentuk media sosial, tapi masyarakat sudah banyak mengakses narahubungnya. Sistemnya sederhana, penumpang cukup menghubungi nomor yang tertera kemudian pengemudi bajaj langsung menuju ke lokasi.
Bojah berhasil menghimpun pengemudi bajaj sebagai mitranya. Mereka diberikan kostum yang rapi sehingga lebih profesional. Bajaj melesat melewati kemacetan ibu kota dan harganya terjangkau, alasan itulah yang membuat bisnis yang dirintis Bojah berkembang cepat.
Bojah tidak menerapkan sistem setoran, tetapi memilih sistem bagi hasil. Alasan itulah yang membuat pengemudi bajai nyaman bekerja dengan Bojah.
“Sepertinya aku sudah menemukan tempat yang tepat untuk membuat kantor usahaku,” ujar Bojah saat berhenti di suatu rumah dengan tulisan “Dijual”. Pertemuan Bojah dengan pemilik rumah berlangsung singkat. Bojah hanya ingin mengetahui alasan rumah itu dijual. Ternyata tuan rumah sedang terlilit utang sehingga dia ingin menjual rumah itu.
“Berapa utangmu, Pak?”
“Saya berutang lima ratus juta.”
“Saya akan membeli rumah ini lima ratus juta, silakan kau lunaskan utangmu, Pak Basuki.”
Sontak Basuki terkejut, tetapi mereka berdua setuju. Bojah tidak peduli berapa pun harga yang harus dikeluarkannya untuk rumah ini.
“Akhirnya aku kembali pulang, Yah.”
Bojah masuk ke rumah tua yang menjadi saksi perjuangan ayahnya. Dia duduk di kursi kayu, menatap ke arah bajaj sembari tersenyum. Tidak lupa Bojah mengambil sajadah merah yang sudah berdebu di atas meja, tempat yang sama sejak terakhir kali dia meninggalkannya.
***
Rumah yang dibeli Bojah saat ini sudah direnovasi sebagai tempat pendampingan bagi masyarakat yang depresi karena berbagai masalah. Bojah juga memberikan makanan gratis bagi yang membutuhkan. Tersedia juga musala, toilet, dan tempat tidur yang layak bagi anak-anak jalanan.
Tepat di depannya terdapat papan nama besar bertuliskan “Bajol Bojah”. Saat Bojah hendak menuju bajajnya, seorang perempuan berjalan ke arahnya sambil menangis.
“Berikan aku pekerjaan, kehidupanku sudah hancur!”
“Aku tidak punya pekerjaan untukmu, tapi kau berhak melakukan apapun di tempat ini, Bu.”
Bojah memeluknya, dia merindukan perempuan itu sejak lama. Tangisan pecah di antara mereka.
“Maafkan aku karena sudah meninggalkanmu dan Sudirman, Nak. Basuki ditahan karena kasus penipuan dan kekerasan kepadaku. Rumah dan seluruh hartanya sudah disita. Ibu malu datang ke sini, ke rumah yang Ibu nodai karena nafsu dan ego sendiri.”
“Pulanglah! Rumah ini selalu terbuka untukmu. Ayah selalu memberikan maafnya untuk kita. Jangan pergi lagi, Bu.”
Bojah meminta Ibu untuk mengurus rumah itu. Rumah yang juga menjadi saksi bisu kehidupan mereka. Ibu melihat Bojah menuju bajajnya dengan membawa tas berisi baju.
“Kau mau kemana, Nak?”
“Aku ingin pulang, Bu. Aku tinggal di bajaj dan ingin memulai perjalanan panjang berkeliling Indonesia.”
Jakarta, 20 Desember 2024