Masjid Cheng Ho , Simbol Multikultural Bumi Sriwijaya - Indonesia Kaya

Cari dengan kata kunci

Masjid_Cheng_Ho_12001.jpg

Masjid Cheng Ho , Simbol Multikultural Bumi Sriwijaya

Dibangun komunitas Tionghoa-Muslim dengan memadukan tiga kebudayaan yang berbeda.

Pariwisata

DARI kejauhan, masjid di Palembang ini terlihat begitu mencolok. Bangunan utamanya didominasi warna pink dengan pilar-pilar berwarna merah. Atapnya terdapat kubah berwarna hijau dengan bulan sabit dan bintang layaknya masjid-masjid di Timur Tengah. Sementara di keempat sudut bangunan terdapat atap berbentuk limas, salah bentuk rumah adat di Palembang, berwarna hijau.

Masjid dilengkapi dua menara serupa pagoda berwana merah, yang masing-masing diberi nama “Habluminallah” dan “Hambluminannas” –”hubungan manusia dengan Allah” dan “hubungan dengan sesama manusia”. Kedua menara itu punya lima tingkat, yang melambangkan shalat lima waktu dalam sehari. Tinggi menara mencapai 17 meter; simbol dari jumlah rakaat yang harus dikerjakan setiap Muslim dalam sehari.

Di lantai dasar masing-masing menara terdapat tempat wudhu. Sementara bagian luar menara dibubuhi ornamen khas Palembang berupa tanduk kambing.

Di dalam masjid, pengunjung akan mendapati warna dominan merah yang identik dengan budaya Tionghoa. Desain daun pintu utama, pancang-pancang, dan ornamen pagar pembatas di bagian atas kian mempercantik tampilan interior masjid yang kental nuansa Tionghoa.

Di gerbang atau gapura masjid yang bergaya Tiongkok, dengan pilar merah dan atap limas berwarna kuning emas, terdapat sebuah papan nama bertuliskan “Masjid Muhammad Cheng Hoo”, lengkap dengan aksara Mandarin.

Penggunaan ornamen-ornamen khas tersebut bukan tanpa sebab. Selain karena Masjid Cheng Ho ini dibangun di tanah Palembang, masyarakat juga menyadari adanya kedekatan antara kebudayaan Palembang dan kebudayaan Tionghoa.

Pemberian nama Cheng Ho juga bukan tanpa alasan. Cheng Ho (Zheng He), yang dikenal sebagai panglima angkatan laut Tiongkok pada ke-15, diyakini memimpin ekspedisi keliling dunia, termasuk ke Palembang.

Dalam Catatan Zheng He, yang diterjemahkan W.P Groeneveldt dengan judul Nusantara dalam Catatan Tiongkok, Cheng Ho datang ke Palembang pada ekspedisi pertamanya. Dia memburu Chen Zuyi, orang Guangdong, yang menguasai Palembang sebagai perompak. Misi itu berhasil. Cheng Ho kembali ke Tiongkok untuk menyerahkan perompak itu kepada kaisar. Chen Zuyi kemudian dipenggal di pasar di ibukota.

Menurut arkeolog Uka Tjandrasasmita dalam Arkeologi Islam Nusantara, tindakan Cheng Ho menumpas bajak laut itu dengan sendirinya merupakan jasa pengamanan bagi kegiatan pelayaran dan perdagangan keluar-masuk kota pelabuhan dan kota Palembang. “Karenanya pemimpin dan masyarakat daerah itu sangat berterimakasih dan menghargai jasa Cheng Ho,” kata Uka.

Kendati belum ada bukti kuat, banyak yang percaya bahwa Cheng Ho seorang muslim dan memiliki misi mengislamkan Nusantara, termasuk di Palembang. Karena perilakunya yang baik dan membawa kedamaian, Cheng Ho mempunyai banyak pengikut.

Komunitas Tionghoa-Muslim juga sudah lama menetap dan berbaur dengan masyarakat setempat di Palembang. Sebagai wujud penghormatan atas sosok Cheng Ho sekaligus mempererat persaudaraan di antara sesama muslim, dibangunlah Masjid Cheng Ho dengan arsitektur yang memadukan budaya Tiongkok, Islam, dan Palembang.

Masjid Cheng Ho Palembang dibangun Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) yang kemudian ganti nama jadi Persatuan Iman Tauhid Indonesia. Dalam “Cosmopolitan Islam and inclusive Chineseness: Chinese-style mosques in Indonesia”, dimuat di buku Religious Pluralism, State and Society in Asia suntingan Chiara Formichi, Hew Wai-Weng menyebut masjid ini digagas oleh PITI Sumatra Selatan setelah para pemimpin cabangnya mengunjungi rekan-rekan mereka di Surabaya yang sudah mendirikan Masjid Cheng Ho.

“Masjid Al-Islam Muhammad Cheng Hoo di Palembang, diluncurkan tahun 2008, merupakan masjid kedua bergaya Tiongkok,” tulis Hew Wai-Weng.

Masjid Cheng Ho Palembang dibangun di atas tanah seluas 4.990 m2, hibah dari Syarial Oesman yang kala itu menjabat gubernur Sumatra Selatan.

Masjid dengan bangunan utama seluas 40m2 ini memiliki dua lantai. Lantai pertama digunakan untuk jamaah laki laki, sedangkan lantai dua digunakan khusus untuk jamaah perempuan. Secara keseluruhan bangunan masjid ini mampu menampung sekitar 500 jamaah.

Suasana di dalam masjid terasa sejuk dan nyaman kendati ruangan tak dilengkapi pendingin udara tapi hanya kipas angin. Hal ini dimungkinkan karena keberadaan roster (lubang angin) pada bagian atas pintu. Jendela-jendelanya juga lebar, dengan roster di bagian atasnya, sehingga membuat sirkulasi udara begitu bebas masuk dan keluar ke ruang salat.

Masjid dilengkapi dengan Tempat Pendidikan Al-Quran untuk anak-anak belajar mengaji secara gratis, kantor Dewan Kemakmuran Masjid, perpustakaan, serta ruang serbaguna.

Masjid Cheng Ho berlokasi di Kompleks Perumahan Amin Mulia, Jakabaring. Karena berada di lokasi perumahan warga, suasana masjid sangat tenang dan sepi.

Masjid Cheng Ho beralamat di 15 Ulu, Seberang Ulu I, atau di depan Pasar Induk Jakabaring, Palembang, Sumatra Selatan. Dari pusat Kota Palembang, Masjid Cheng Ho berjarak sekitar 7,3 km. Dengan kendaraan bermotor, masjid ini bisa dicapai dalam waktu sekitar 15 menit.

Apabila berkunjung ke kota Palembang, sempatkanlah berkunjung ke Masjid Cheng Ho.*

Informasi Selengkapnya
  • Indonesia Kaya

  • Indonesia Kaya

  • Hew Wai-Weng. “Cosmopolitan Islam and inclusive Chineseness: Chinese-style mosques in Indonesia” dalam Chiara Formichi (ed.), Religious Pluralism, State and Society in Asia. London and New York: Routledge, 2014.
    Herwansyah dan Zaki Faddad Syarif Zain. “Tipologi Identitas Muslim Tionghoa di Palembang Sumatera Selatan”, Jurnal Ilmu Agama, Vol. 18 No. 2, 2017.
    Uka Tjandrasasmita. Arkeologi Islam Nusantara. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2009.
    W.P. Groeneveldt. Nusantara dalam Catatan Tiongkok. Jakarta: Komunitas Bambu, 2009.