Udara Ternate yang panas begitu terasa menusuk setiap pori-pori kulit kami. Beruntung tidak ada kemacetan di jalan Ternate, kami langsung menuju Benteng Oranye dengan leluasa. Sampai di wilayah Benteng Oranye hal pertama yang berkesan bagi kami adalah pemukiman Tentara Nasional Indonesia dan Polisi Republik Indonesia di dalam kawasan Benteng. Awalnya kami tidak menyangka bahwa kami sudah berada di dalam wilayah situs bersejarah, namun penunjuk jalan kembali meyakinkan kami bahwa kami sudah berada di wilayah Benteng Oranye. Ia menunjukkan sebuah tembok kokoh setinggi kurang lebih 5 meter yang melintang hampir sepanjang setengah kilometer.
Mengamati kondisi sekitar kami yang memang didominasi bangunan tua, kami akhirnya menyimpulkan bahwa inilah Tembok Oranye yang dibicarakan beberapa rekan kami beberapa waktu lalu. Mereka menyarankan kami untuk mengunjungi Benteng Oranye yang merupakan Benteng terbesar di Ternate yang masih berdiri. Menurut warga setempat, Benteng Oranye memang merupakan situs bersejarah yang dilindungi, namun karena lokasinya yang tepat berada di tengah kota Ternate maka warga sudah menjadikan tempat ini sebagai pemukiman sejak lama.
Benteng Oranye dibangun pada tahun 1607 oleh seorang Laksamana VOC bernama Cornelis Matelieff de Jonge untuk menggantikan keberadaan Benteng Malayo milik kesultanan Ternate yang dihancurkan oleh Spanyol. Menurut sejarah, Benteng ini dibangun sebagai bentuk terimakasih Sultan Ternate atas kerjasama Belanda dalam mengusir bangsa Spanyol dari Ternate. Benteng ini merupakan benteng penting yang dimiliki Belanda di awal kekuasaan mereka di Nusantara, bahkan sebelum dipindahkan ke Batavia, Dewan Hindia Belanda pernah diselenggarakan di Benteng Oranye.
Bangunan tembok Oranye sangat kokoh seperti bangunan lain buatan Belanda pada umumnya. Tembok benteng ini berbahan batu bata, batu kali, batu karang dan pecahan kaca. Tidak heran bila tembok benteng ini tetap bertahan sekalipun sudah berumur ratusan tahun. Di beberapa sudut tembok, kami masih dapat menyaksikan beberapa meriam asli yang dipakai oleh Belanda untuk menghalau musuh, khususnya Spanyol dan Portugis. Lantai bawah dari tembok benteng yang dulu berfungsi sebagai penjara dan kantor satuan pengamanan VOC pun masih dapat dilihat namun kondisinya sudah tidak layak digunakan. Salah satu bangunan yang tampak masih layak pakai adalah bekas kantor Gubernur Hindia Belanda di bagian dalam tembok benteng dan kini beralih fungsi sebagai kantor Dinas Pariwisata sekaligus Museum Rempah Ternate.
Sebenarnya kondisi Benteng terbesar di Ternate ini sedikit memprihatinkan, namun warga setempat memberi informasi bahwa proses tahapan revitalisasi Benteng Oranye belum selesai. Bila kita melihat sisi luar tembok benteng ini, sebuah harapan terpancar untuk menjadikan Benteng ini kembali berjaya. Sebuah taman dengan arsitektur art deco dapat kami saksikan menghiasi Benteng Oranye. Tulisan Benteng Oranye berukuran besar dan berwarna Oranye pun berdiri dengan kokoh menjadi penanda di taman tersebut. Wilayah luar tembok yang dulu kabarnya kumuh pedagang kaki lima, kini sudah dipercantik menjadi sebuah taman. Kini, harapan menunjuk pada bagian dalam tembok benteng yang masih dijadikan pemukiman dan jauh dari kata baik sebagai situs bersejarah. [Phosphone/IndonesiaKaya]