Burung-Burung Manyar, Buku Karya Y.B Mangunwijaya - Indonesia Kaya

Cari dengan kata kunci

Burung Burung Manyar

Burung-Burung Manyar, Buku Karya Y.B Mangunwijaya

Rentetan kisah masa kolonialisme dari kacamata pemuda Indonesia pendukung Belanda.

Kesenian

Dalam ulasannya tentang Burung-Burung Manyar, buku karya Y.B Mangunwijayasalah satu kritikus mencantolkan adjektiva “Mangunwijayan” untuk mendeskripsikan gaya penulisan sang pengarang. Seperti apa memang gaya Mangunwijayan itu? Nyeleneh, sehari-hari, sedikit kasar, humoristis, sarat kiasan, satir, dan bahkan, jurnalistik. Satu lagi, beruntun bak peluru yang gemar dimuntahkan pistol Teto/Leo sang karakter utama. 

Seperti apa memang gaya Mangunwijayan itu? Nyeleneh, sehari-hari, sedikit kasar, humoristis, sarat kiasan, satir, dan bahkan, jurnalistik.

Bisa dikatakan, semua penulis pasti ingin memiliki ciri khas dalam menulis. Ciri khas yang mampu menyeruak dengan spontan dari sepenggal kalimat semata, sehingga pembaca tahu siapa yang menulisnya. Seperti Hemingway, Woolf, dan Pramoedya Ananta ToerY.B Mangunwijaya juga mampu merangkum gayanya yang lincah, menohok, kerap kontemplatif tapi lebih sering eksplosif, pada novel Indonesia klasiknya yang berjudul Burung-Burung Manyar.

Novel ini mengisahkan protagonis Setodewa (dipanggil “Teto” saat kecil dan dipanggil “Leo” ketika beranjak dewasa), yaitu seorang “anak kolong” inlander asal Surakarta yang besar di bawah jajahan Belanda. Ia tumbuh mencintai kependudukan pemerintahan Hindia Belanda, membenci gerilyawan Indonesia, dan anti republik. Ia juga membenci Soekarno dan Sutan Sjahrir karena menentang Belanda. Semua berjalan mulus bagi Teto alias Leo hingga Jepang hadir di Nusantara, yang kemudian memenjarakan sang ayah (seorang looitenant lulusan Akademi Breda Holland) dan menjadikan ibunya sebagai gundik. 

Ia kemudian tinggal bersama keluarga Astana di Batavia dan bertemu kembali dengan Larasati (Atik), anak perempuan yang sudah ditaksirnya sejak kecil. Tapi, ketika beranjak dewasa, jalur hidup mereka bertolak belakang. Atik adalah seorang pro Indonesia yang mengandalkan diplomasi demi mencapai kedamaian. Ia kemudian bekerja sebagai staf khusus di Departemen Luar Negeri. Sementara itu, Leo tetap berpegang teguh pada pemikirannya dan memutuskan untuk menjadi anggota KNIL (tentara kerajaan Hindia Belanda). 

Cuplikan Sejarah Kolonialisme

Betapa kontroversial tema yang diusung Burung-Burung Manyar ini. Bayangkan saja, karakter utamanya justru mengelu-elukan masa kolonialisme Hindia Belanda dan membodoh-bodohi rakyatnya sendiri. Bercerita tentang kebanggaannya memiliki ayah yang seorang letnan, “Tegak dia di samping para perwira Belanda yang menjulang tinggi. Sempurna, dah! Asal jangan melihat wajah beliau. Benar-benar Jowu, deh. Kayak penyapu pupuk andong dari Khemeente, yang tiap hari membersihkan aspal-aspal kerajaan dengan sapu bertongkat panjang, sregsreegsiyuhsiyuhsregsreegg.”

Bayangkan saja, karakter utamanya justru mengelu-elukan masa kolonialisme Hindia Belanda dan membodoh-bodohi rakyatnya sendiri.

Blak-blakan memang, entah serius atau bercanda, kendati kemungkinan disengaja. Novel ini mewakili dan menyindir sosok yang sejak kecil hidup nyaman sehingga merasa entitled. Kenyamanannya seketika luluh lantak saat pasukan Kempetai mengambil alih kekuasaan. Peristiwa tersebut menjadikan Leo sebagai orang yang pahit, bercangkang keras, emosional, pendendam, dan gegabah—dan hanya Atik yang bisa menggetarkan sisi kemanusiaannya. Ia lantas bergabung dengan KNIL. Pertama, untuk mengusir Jepang. Kedua, untuk menumpas gerakan nasionalis. 

Setiap bab yang ada di novel Burung-Burung Manyar selang-seling berganti sudut pandang. Ada Leo sendiri yang bertutur dan ada pula penuturan karakter-karakter lain, seperti Atik dan seorang petani yang mencoba menyelamatkan Atik dari serangan pesawat tempur Jepang di Yogyakarta pada bab Elang-Elang Menyerang. 

Di situ, “suara” penulis tetap bergaung. Hal ini bisa dilihat ketika Pak Trunya, sang petani, bermonolog “Terus terang saja dalam hati Pak Trunya tidak berkeberatan Belanda datang lagi mengganti Jepang, asal ia dapat menanam padi dengan tenang dan anak-anaknya bisa berpakaian dan bersekolah. Pak Trunya memilih Belanda saja. Mereka orang-orang yang pandai, walaupun sering kasar dan biadab, dapat diandalkan. Kalau ada pencuri padi atau sapi-kerbau hilang, si maling mesti tertangkap.”

Di luar keburukan tokoh utama, Burung-Burung Manyar sukses menjadi cuplikan sejarah kolonialisme dari seseorang yang hidup pada zaman tersebut. Gambaran kebobrokan perang dan efeknya pada manusia, dapat dirasakan pada salah satu bab yang bercerita tentang kelakuan pasukan KNIL yang dianggap bandit, bertingkah tak senonoh, dan tak selaras dengan kewibawaan militer, namun diperbolehkan melakukan tindak kekerasan ke rakyat sendiri. Tak hanya itu, bab Ayam-Ayam Menyambar juga bercerita tentang konflik antar prajurit KNIL. Setelah mengetahui keberingasan salah satu prajuritnya, algojo Samsu, sang komandan hanya menyeletuk “Ngono ya ngono, ning mbok ajo ngono,” atau “Boleh kau begitu, tapi hendaknya jangan begitu.”

Di luar keburukan tokoh utama, Burung-Burung Manyar sukses menjadi cuplikan sejarah kolonialisme dari seseorang yang hidup pada zaman tersebut.

Plot Pasang Surut

Struktur waktu dari novel Burung-Burung Manyar terbagi menjadi tiga alur, yaitu tahun 1934-1944, 1945-1950, dan 1968-1978—dengan banyak judul bab yang mengandung elemen fauna (terutama di bagian tengah), seperti Anak Harimau Mengamuk, Banteng-Banteng Muncul, Elang-Elang Menyerang, Firdaus Kobra, dan Ayam-Ayam Disambar. Tak hanya judul utama, judul-judul bab yang ada di dalamnya juga memakai berbagai nama jenis burung, seperti gelatik, kace, dan srigunting. Alegorinya juga terpatri jelas, yaitu burung akan bernyanyi lebih indah saat terbang bebas dan akan mati saat terkurung atau terabaikan. 

Tentu banyak hal yang bergejolak dalam kurun waktu 1945-1950. Sebagian seru, namun sebagian juga melelahkan dan memprihatinkan. Maklum saja, novel ini mengambil suasana pasca Kemerdekaan Indonesia sebagai setting. Peperangan terasa kian intens, antara nasionalis dan Belanda, antara Belanda dan Jepang (dan Inggris), serta antara nasionalis dan prajurit Indonesia pendukung Belanda. Di bagian tengah novel, banyak terdapat dialog antara Leo dan atasannya di NICA, Mayoor Verbruggen, yang menjadi mentor sekaligus figur ayahnya (lantaran Verbruggen pernah menyukai ibu Leo dan ditolak cintanya). Namun, berkat Verbruggen, Leo dapat naik pangkat menjadi letnan II dengan mudah.  

Novel ini mengambil suasana pasca Kemerdekaan Indonesia sebagai setting.

Plot pun semakin pasang-surut (pembaca kadang tak pernah tahu akan dibawa ke mana). Meski begitu, muncul pula kedewasaan pada alur cerita dan pola pikir sang protagonis. “Dan apa yang sedang kukerjakan sejak aku masuk KNIL ini? Menegakkan tata tertib yang sah? Apa beda tentara dan gerombolan bandit? Apa beda seni kesatria dan nafsu membunuh? Apa perbedaan pahlawan kemerdekaan yang gugur dan serdadu penjajah yang mampus?” Leo berkicau dalam hati, saat mengalami krisis justifikasi soal membunuh sebagai bakti kepada nusa dan bangsa.  

Suasana kemudian meredam di era terakhir, dengan Leo yang menjadi lebih kalem, lebih rasional, dan bekerja di Divisi Eksploitasi Pacific Oil Wells Coy sebagai “kacung” dewan direksi. Ironisnya, ia lanjut membiarkan tangan asing untuk mengeksploitasi Tanah Air. Bedanya, sekarang ia sadar total, lantaran satu rangkaian kata yang ia dengar dari seseorang yang ia lupa siapa, “Tanah air ada di sana, di mana ada cinta dan kedekatan hati, di mana tidak ada manusia menginjak manusia lain.” Perlahan, peperangan dalam hatinya pun surut. 

Magnum Opus

Dalam ulasannya tentang Burung-Burung Manyar, H.B. Jassin mengatakan, “Pengarang cerita ini memperlihatkan pengalaman serta pengetahuan yang dalam tentang manusia. Ia mampu menganalisis dan mengejek diri sendiri, tak tanggung-tanggung, suatu tanda kedewasaan jiwa.”

“Pengarang cerita ini memperlihatkan pengalaman serta pengetahuan yang dalam tentang manusia. Ia mampu menganalisis dan mengejek diri sendiri, tak tanggung-tanggung, suatu tanda kedewasaan jiwa.” 

Tak bisa dimungkiri, pengetahuan dan pengalaman Y. B. Mangunwijaya sangatlah kaya, dan ia mampu menyalurkan unsur jurnalistik dan sinematik pada Burung-Burung Manyar. Hal itulah yang menjadikan novel roman sejarah terbitan Penerbit Djambatan ini sebagai salah satu magnum opus (karya terbaik) dari pengarang kelahiran Ambarawa ini. Sepanjang karier, penulis yang juga dianggap sebagai bapak arsitektur modern Indonesia ini telah melahirkan lebih dari 20 buku—dengan buku-buku yang ditulis secara ambisius dan epikseperti Roro Mendut (1984)yang berkisah tentang zaman akhir Sultan Agung. 

Meski begitu, Burung-Burung Manyar adalah karyanya yang paling bergaung. Novel ini pernah meraih penghargaan prestisius Southeast Asia Write Award di Thailand pada 1984 dan penghargaan sastra se-Asia Tenggara, Ramon Magsaysay Award, pada 1996. 

Kenapa disebut paling bergaung? Karena, ciri khasnya sebagai penulis tertera kental di setiap rangkaian kata-katanya. Terbang bebas tak terhalang, ringkas kata, dan sangat Mangunwijayan. 

Informasi Selengkapnya
  • Indonesia Kaya

  • Indonesia Kaya

  • Ensiklopedia Sastra Indonesia – Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.