Dengan seragam warna-warni, para penari duduk bersimpuh. Secara perlahan, mereka mulai menepuk tangan, dada, dan paha. Sesekali mengubah posisi dengan tubuh bertumpu pada lutut, membungkuk, miring ke belakang, ke kanan, atau ke kiri. Semua dilakukan dengan kompak dan harmonis. Temponya semakin lama semakin cepat. Inilah yang membuat pertunjukan tari saman selalu mengundang decak kagum penonton.
Tari saman adalah salah satu tarian adat asal Aceh. Tarian ini berasal dari dataran tinggi Gayo dan dikembangkan Syekh Mohammad as-Samman, guru tasawuf kelahiran Madinah, pada abad ke-17 Masehi.
Tarian ini berasal dari dataran tinggi Gayo dan dikembangkan Syekh Mohammad as-Samman.
Tasawuf merupakan sejenis penghayatan mendalam terhadap Islam lewat berbagai cara yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Ciri khas tasawuf dapat terlihat dari adanya perkumpulan khusus (tarekat) yang terdiri atas guru dan murid. Tiap guru punya cara berbeda dalam mengajarkan tasawufnya.
Syekh Samman memilih berkesenian untuk mengajarkan tasawufnya. Dia membuat sejumlah syair pujian kepada Allah dan Nabi Muhammad. “Menyusun kata maupun aturan gerak dan sikap badan yang menyertai gerak,” tulis Snouck Hurgronje dalam Aceh di Mata Kolonialis II.
Sejumlah orang terpikat dengan cara Syekh Samman mengajarkan tasawuf. Mereka menjadi muridnya. Beberapa murid lalu mendapat izin dari Syekh Samman untuk menyebarkan ajaran tasawufnya. Bersama Syekh Samman, mereka menyebarkannya hingga ke tanah Melayu, termasuk ke Gayo, wilayah Aceh.
Orang setempat menyebutnya sebagai “ratib saman” (dengan satu ‘m’).
Tiba di Aceh, syair-syair karya Syekh Samman hidup dan berkembang seiring dengan adat tradisi masyarakat setempat. Orang setempat menyebutnya sebagai “ratib saman” (dengan satu ‘m’). Sekarang orang mengenalnya sebagai tari saman.
Ketika melakukan praktik ratib saman, Syekh Samman meminta muridnya duduk berjejer dalam beberapa baris. Jumlah muridnya bisa mencapai puluhan bahkan ratusan. Tapi untuk praktik ini, jumlah muridnya biasanya ganjil dan semuanya lelaki.
Mulut mereka merapalkan syair-syair pujian, sementara tangannya menepuk-nepuk dada, paha, dan bahunya sendiri. Dari sinilah terlihat adanya percampuran tradisi setempat dengan ajaran Syekh Samman.
Menepuk tangan termasuk dalam ciri khas tarian-tarian Melayu kuno jauh sebelum kedatangan Syekh Samman.
Menepuk tangan termasuk dalam ciri khas tarian-tarian Melayu kuno jauh sebelum kedatangan Syekh Samman. Bukti ini diperkuat oleh catatan Marco Polo, penjelajah Italia, yang pernah mengunjungi Samudra Pasai pada abad ke-13.
Suatu malam, Marco Polo mendengar suara gaduh. “Setelah itu, Marco Polo pergi melihatnya dan terlihatlah sederetan pemuda Gayo sedang bermain saman berderet di atas batang kelapa yang telah direbahkan (dalam bahasa Gayo disebut jejunten),” sebut Rajab Bahry dkk dalam Saman, Kesenian dari Tanah Gayo.
Gerakan menepuk tangan masih bertahan ketika Syekh Samman datang ke Aceh. “Diduga, ketika menyebarkan agama Islam, Syekh Saman mempelajari tarian Melayu kuno, kemudian menghadirkan kembali lewat gerak yang disertai dengan syair-syair dakwah Islam demi memudahkan dakwahnya,” catat Resi Septiana Dewi dalam Keanekaragaman Seni Tari Nusantara.
Kelompok tarekat Syekh Samman biasanya menggelar tarian ini pada peringatan kelahiran Nabi Muhammad atau Maulid.
Kelompok tarekat Syekh Samman biasanya menggelar tarian ini pada peringatan kelahiran Nabi Muhammad atau Maulid. Kelompok ini juga mengisi tari saman dengan pembacaan riwayat hidup Syekh Samman. Tapi kemudian tarian ini berkembang ke berbagai wilayah Aceh dan mulai dipraktekkan di luar hari Maulid.
Isinya pun tak lagi hanya pujian kepada Allah dan Nabi Muhammad, melainkan juga tentang riwayat tokoh setempat, nasihat hidup, dan pengingat akan adat-istiadat. Pembacaan riwayat Syekh Samman bahkan mulai menghilang di beberapa tempat. Penampilnya pun tak cuma lelaki; perempuan diperbolehkan menari saman.
Pemerintah kolonial Belanda sempat melarang tari saman. Alasannya, mengobarkan perlawanan dan mengandung unsur magis. Kala itu, tari saman digunakan oleh para pejuang Aceh untuk mengobarkan semangat rakyat Aceh melawan Belanda.
Pemerintah kolonial Belanda sempat melarang tari saman.
Lazimnya dalam pertunjukan tari saman, ada seseorang yang berada di posisi tengah. Dia disebut sebagai syekh atau pemimpin pertunjukan. Dialah pencerita sekaligus pengatur tempo dan kecepatan para penampil.
Tari saman mulai dikenal luas di Indonesia pada 1974. Ketika itu tari saman tampil dalam pembukaan Taman Mini Indonesia Indah. Setelah itu, banyak orang menggelar lomba atau festival tari saman.
Setiap penampil dalam tari saman menggunakan baju adat khas Aceh yang longgar, panjang, dan berwarna cerah seperti merah, kuning, dan ungu. Lengkap dengan sarung dan ikat kepala, baik lelaki maupun perempuan.
Setiap penampil dalam tari saman menggunakan baju adat khas Aceh.
Kehadiran Institut Kesenian Jakarta (IKJ) dan Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki (PKJ-TIM) turut mengangkat tarian ini ke pentas nasional. Para koreografer dari IKJ kerap meramu ulang gerakannya agar dapat bersanding dengan tarian modern atau kontemporer, lalu menampilkannya di TIM. Banyak pro-kontra tentang pencarian bentuk baru, tetapi hal itu justru membuatnya kian dikenal.
Meski telah berkembang pesat, beberapa pakem tetap bertahan, seperti gerakan tepok, kirep, lingang, lengek, guncang, dan surang-saring. Unsur pendidikan juga tetap menjadi bagian penting dalam tarian ini.
Kini, tari saman kerap dipertunjukkan dalam acara resmi kenegaraan. Banyak sanggar tari membuka kelas tari saman, menjadikannya tetap lestari karena keindahan dan kedalaman pesannya.