Sukses menggelar dua pertunjukan Wayang Jurnalis berjudul “Wahyu Cakraningrat” dan “Petruk Nagih Janji”, kali ini Wayang Jurnalis mendapat kesempatan diundang ke Festival Gunungan di Bale Pare Kotabaru Parahyangan, Padaralang, Bandung pada hari Minggu 24 Mei 2015, pukul 15.00 WIB. Menyambut baik tawaran berpartisipasi dalam ajang kesenian topeng dan wayang berskala internasional tersebut, Bakti Budaya Djarum Foundation melalui Galeri Indonesia Kaya memilih menghadirkan pertunjukan wayang jurnalis yang mengangkat cerita rakyat indonesia berjudul “Wahyu Cakraningrat”.
Wayang Jurnalis merupakan program pentas budaya dari Galeri Indonesia Kaya yang memberikan ruang dan keterlibatan jurnalis dalam proses pelestarian budaya, salah satunya seni pertunjukan. Inilah semangat Bakti Budaya Djarum Foundation dalam melestarikan budaya ke seluruh lapisan masyarakat, termasuk kepada jurnalis. Mereka tidak saja menjadi penikmat dan menyuguhkan berita seni, tapi kini menjadi pelaku seni budaya. “Bakti Budaya Djarum Foundation memiliki misi untuk secara konsisten menularkan “Cinta Budaya, Cinta Indonesia” kepada masyarakat luas. Dengan suksesnya wayang jurnalis produksi pertama dan hadirnya produksi kedua, saya melihat jurnalis memiliki cinta untuk melestarikan budaya bahkan memiliki potensi sebagai pelaku budaya,” ujar Renitasari Adrian, Program Director Bakti Budaya Djarum Foundation.
Wahyu Cakraningrat merupakan cerita wayang klasik tentang wahyu keprabon atau wahyu keraton. Cakraningrat sendiri terdiri dari kata Cakra, Ning dan Rat. Cakra artinya memutar, Ning artinya di, rat artinya dunia. Barangsiapa yang mendapatkan wahyu ini, dipastikan bisa memutar dan menguasai dunia.
Kisah wayang klasik merupakan cerita rakyat indonesia tentang wahyu keprabon atau wahyu keraton sudah pernah dimainkan dalam pertunjukan Wayang Jurnalis yang perdana. Sebagai catatan, Oktober tahun lalu, Wayang Jurnalis pertama diadakan setelah keluar hasil pemilihan presiden. Lakon “Wahyu Cakraningrat” pun menjadi relevan karena yang mengingatkan soal karakter pemimpin yang layak, tak tergoda oleh harta, tahta dan wanita.
Adapun soal pementasan “Wahyu Cakraningrat” sekarang, Kenthus Ampiranto selaku sutradara menilai lakon tersebut relevan sekali dengan kondisi yang dialami negara kita saat ini, terutama jelang pelaksanaan Pilkada serentak. “Wahyu Cakraningrat jadi panduan kalau jadi seorang pemimpin yang mumpuni, kodrat pemimpin yang penting bekalnya lulus dari segala ujian dan kualifikasinya,” ujar Kenthus.
Pementasan tersebut juga semakin segar serta menghibur dengan hadirnya Mario Ginanjar dari Kahitna yang memberikan warna tersendiri, dengan perannya sebagai Raden Sombo. “Saya sangat antusias sekali akan keterlibatan saya di acara wayang orang jurnalis ini karena menurut saya ini adalah salah satu langkah yang menurut saya krusial sekali untuk budaya Indonesia,” kata Mario.
Menurutnya, kekuatan Indonesia terletak pada kebudayaan yang kita miliki, sesuatu yang tidak dimiliki banyak negara lain. “Kalau kita jadikan itu senjata pamungkas kita, itu akan menjadikan Indonesia sangat kuat. Dimulai dari cinta budaya, itu alasan saya ikut di Wayang Jurnalis ini,” imbuhnya.
Mengakrabkan Masyarakat pada Wayang Orang
Dikisahkan, Batara Cakraningrat dan Batari Maninten mendapat tugas untuk menguji dan menentukan ksatria mana pantas mendapatkan wahyu cakraningrat. Barangsiapa yang mendapat wahyu tersebut, kelak akan menjadi raja. Belum tentu anak raja bisa menjadi raja karena tidak mudah untuk mendapatkan wahyu yang dibawa oleh Batara Cakraningrat, ada banyak syarat yang harus dipenuhi dan banyak godaan yang harus dihadapi agar wahyu tersebut dapat menyatu dengan raga satria yang terpilih.
Tiga orang ksatria bersaing untuk mendapatkan wahyu yakni Raden Abimanyu, putra Arjuna dari pihak Pandawa, Raden Lesmana Mandrakusuma putra mahkota Kerajaan Hastina, dan Raden Sombo dari Kerajaan Dwarawati, putra Prabu Kresna. Raden Lesmana Mandrakusuma gagal mendapatkan Wahyu Cakraningrat karena memiliki kepribadian yang tidak pantas untuk menjadi raja.
Sementara itu Raden Sombo (diperankan Mario Ginanjar) yang sempat mendapat wahyu, kemudian tergoda oleh nafsu memburu perempuan dan membuatnya tak lagi layak mendapat wahyu cakraningrat. Ini salah satu pesan penting dalam kisah pewayangan wahyu cakraningkrat, karakter kepemimpinan tidak hanya harus diperjuangkan di awal, melainkan harus terus dipertahankan. Pada akhirnya wahyu cakraningrat menyatu dengan Abimanyu karena dia memiliki keteguhan hati, keyakinan, dan niat yang tulus.
Semar dalam nasehatnya mengatakan bahwa Wahyu Cakraningrat pada hakekatnya adalah legitimasi dari rakyat. Bisa juga diartikan sebagai karakter personal calon pemimpin yang diharapkan oleh rakyat saat ini, yaitu kejujuran dan ketulusan dalam pengabdian kepada negara dan bangsa.
Sebanyak 16 jurnalis terlibat dalam pementasan wayang orang tersebut, baik pemimpin redaksi, managing editor, hingga reporter dari lintas media antara lain Kompas, Media Indonesia, Bisnis Indonesia, Koran Sindo, Wanita Indonesia, Cosmopolitan, Kartini, Tembi Rumah Budaya, Inilah.com, Hai, Esquire, Gohitzz.com, Majalah Venue dan Majalah Dewi. Mereka bekerja sama dengan Wayang Orang Bharata. Lewat pementasan wayang orang, mereka menyajikan pertunjukan yang khas jurnalis, kritik dalam balutan pagelaran seni.
Sebelumnya jelang pementasan, para jurnalis ini harus mengikuti latihan wayang orang yang intensif. Beatrix R Imelda dari Tembi Rumah Budaya yang terlibat dalam pementasan Wayang Jurnalis pertama dan kedua, mengaku menemukan keseruan dari latihan kali ini yang dilakukan empat kali saja, selama 18-21 Mei 2015. “Kita ditatar lagi dialog dan tariannya dengan lebih disiplin, jadi semakin menghargai profesi pekerja seni secara tidak langsung. Saya semangat sekaligus deg-degan karena bisa tampil di acara yang skalanya internasional berbarengan dengan komunitas wayang lainnya,” ujar Beatrix.
Hal senada disampaikan Ali Sobri dari Majalah Hai yang merasa tertantang untuk pertama kalinya menampilkan wayang orang di luar ruangan. “Yang paling deg-degan adalah tampil di depan banyak orang yang lebih jamak, ada yang mengerti wayang dan ada yang awam. Meski kita bukan wayang orang profesional, saat sudah terjun dan mau ambil bagian dari ini, maka kita adalah duta wayang orang dan selayaknya memberi performa yang terbaik juga,” harapnya.
Dengan memperkenalkan pertunjukan Wayang Jurnalis, Kenthus Ampiranto sang sutradara berharap masyarakat makin mengakrabi dunia wayang dan panggung teater. Nyatanya, wayang orang tidak hanya bisa diperankan seniman wayang, tapi lapisan masyarakat yang lain, termasuk jurnalis.
Berikut adalah nama para jurnalis yang ikut serta dalam pementasan Wayang Jurnalis “Wahyu Cakraningrat di Festival Gunungan Bandung ini.
- Ninok Leksono dari Media Kompas sebagai Semar
- Dwi Sutarjantono dari Media Esquire sebagai Gareng
- Ali Sobri dari Media Hai sebagai Raden Lesmana Mandrakusuma
- Dwi Sasongko dari Media Koran Sindo sebagai Basukarno
- Dzulfikri Putra Malawi dari Media Indonesia sebagai Sengkuni
- Lahyanto Nadie dari Media Bisnis Indonesia sebagai Petruk
- Imanuele Philia dari Media Majalah Dewi sebagai Bidadari
- Beatrix R. Imelda dari Media Tembi Rumah Budaya sebagai Betari Durga
- Titin Natalia Sitorus dari Media Tembi Rumah Budaya sebagai Pengawal Putri
- Anindita Nasution dari Media Wanita Indonesia sebagai Wahyu Maninten
- Vidi Prima dari Media Majalah Cosmopolitan sebagai Bidadari
- Mia Umi Kartikawati dari Media Inilah.com sebagai Bidadari
- Ratna Wina dari Media Majalah Kartini sebagai Gadis Desa
- Adhia Azkapradhani dari Media Majalah Cosmopolitan sebagai Bidadari
- Galuh Pradhita dari Media Gohitzz.com sebagai Bidadari
- Mutya Hanifah dari Media Venue Magazine sebagai Pengawal Putri
Dengan adanya kegiatan ini, diharapkan kesenian tradisional dapat kembali ke dalam hati masyarakat, karena keindahannya sebenarnya tak lekang oleh jaman. Semoga pergelaran ini mampu memberikan inspirasi kepada masyarakat terutama generasi muda untuk terus berkarya serta meningkatkan rasa cinta dan kebanggaan sebagai bangsa Indonesia. Mencintai budaya adalah wujud rasa bangga dan cinta kita terhadap Indonesia, karena yang menyatukan bangsa adalah budaya. Cinta Budaya, Cinta Indonesia.