Rosnah, mantan buruh migran, adalah perempuan muda yang ingin menjadi 'artis' agar bisa bertahan di Jakarta, sebuah kota yang riuh suara-suara, warna, bau, tubuh-tubuh, bangunan, deru mesin, halte bus dan lalu lintas yang macet. Ia mencari jeda di antara kesibukan survival di Jakarta agar bisa menari. Momen dramatiknya ditandai oleh perayaan idul Fitri, ketika ia mudik ke rumah orang tuanya. Pada perayaan lebaran itulah, ia menjumpai yang tak-terhindarkan, seluruh peristiwa buruk yang ngotot menyelinap ke dalam potret keluarga: keberangkatan kakak laki-lakinya ke Afganistan, obsesi adiknya untuk mengumandangkan azan di setiap waktu, tempat cuci piring ibunya, minggatnya binatang piaraan keluarga, anaknya yang masih kecil yang terlantar, hobi bapaknya menembaki burung untuk mengisi waktu. Sementara, seorang pembunuh kucing berkeliaran di luar sana.
Pertunjukan ini adalah kunjungan yang riuh pada kenyataan sehari-hari di Indonesia abad 21. Kekacauan politik di tingkat yang lebih tinggi –perang global, ketidaksetaraan ekonomi, politik negara, ketegangan karena kepercayaan agama– memenuhi keseharian di Indonesia sebagai suara-suara yang saling beradu, dan narasi-narasi yang bersitegang. Sementara trauma kekerasan sejarah terus menghantui bangsa Indonesia. Dan kita menari di dalam seluruh keriuhan ini.
Demikianlah alur cerita pada pertunjukan Teater Garasi/Garasi Performance Institute yang bekerja sama dengan Badan Ekonomi Kreatif dan Bakti Budaya Djarum Foundation yang berjudul “Yang Fana adalah Waktu. Kita Abadi” pada tanggal 30-31 Juli 2016 di Goethe-Institut Jakarta.
Yang Fana adalah Waktu. Kita Abadi adalah karya pertunjukan terbaru Teater Garasi/Garasi Performance Institute yang bertolak dari pembacaan dan refleksi atas ihwal “tatanan” dan “berantakan” (order dan disorder).
Pertunjukan yang disutradarai Yudi Ahmad Tajudin ini adalah pengembangan dan penelusuran lebih jauh dari proyek seni kolektif Teater Garasi yang dilakukan sejak tahun 2008, di antaranya menghasilkan pertunjukan Je.ja.l.an dan Tubuh Ketiga, yang mencoba mempelajari bagaimana ledakan “suara” atau “narasi” (ideologis, agama, identitas) di Indonesia pasca 1998 menciptakan dan menyingkap ketegangan serta kekerasan yang baru maupun yang terpendam.
Yang Fana adalah Waktu. Kita Abadi pertama kali dipentaskan di Yogyakarta pada bulan Juni tahun 2015 lalu. Dalam format work in progress, karya ini pertama kali dipentaskan di Erasmus Huis, Jakarta pada bulan Maret 2014, sebagai bagian dari acara penyerahan Prince Claus Award 2013 pada Teater Garasi. Judul pertunjukan dipinjam dari puisi Sapardi Djoko Damono, Yang Fana adalah Waktu (1978), karena judul tersebut terasa sangat mewakili karya ini.