Persembahan Edward Hutabarat dan Bakti Budaya Djarum Foundation Untuk Pelestarian Wastra Peradaban Nusantara.
Bakti Budaya Djarum Foundation bersama desainer ternama Indonesia, Edward Hutabarat, mengajak masyarakat Indonesia untuk mengenal lebih jauh mengenai lurik, satu dari begitu banyak wastra peradaban nusantara yang selama lebih dari tiga dekade coba diangkat Edward Hutabarat ke kancah mode Indonesia. Mulai dari fotografi, video, instalasi (living dan fashion) hingga pagelaran busana yang diinspirasi dan menggunakan kain tradisi lurik ini mewarnai pameran bertajuk Tangan-Tangan Renta Lurik Indonesia yang dilaksanakan pada tanggal 23 – 28 Agustus 2017 di Pelataran Ramayana, Hotel Indonesia Kempinski Jakarta.
Alih-alih memakai istilah kain tradisi atau sekadar wastra nusantara, Edo – sapaan Edward Hutabarat – senang menyebut kain-kain khas dari berbagai daerah di Indonesia sebagai wastra peradaban nusantara. Istilah itu muncul dari interaksinya yang intensif dengan proses panjang pembuatan kain-kain tradisi di banyak tempat dan pengalaman yang mempertemukan banyak ritual budaya yang melibatkan kain-kain tersebut sebagai bagian dari ritual-ritual itu.
“Kita bisa melihat, betapa di Indonesia ini, kain tradisi hadir dalam hampir setiap fase penting kehidupan seorang manusia. Mulai dari kelahiran, pernikahan, hingga kematian. Selalu ada kain tradisi yang menyertai. Selain itu, proses pembuatannya pun umumnya melibatkan banyak perajin yang penuh cinta dan dedikasi. Itu sebabnya saya senang menyebut kain-kain tradisi itu sebagai wastra peradaban, karena pada lembarannya terdapat banyak cerita,” kata Edo.
Perjalanan untuk mengangkat berbagai wastra peradaban nusantara ke panggung gaya hidup tersebut juga memberi perspektif yang berbeda dan semakin komprehensif bagi Edo dalam melihat lurik. Wastra tersebut tak lagi sekadar selembar kain, tapi menjadi serangkaian cerita tentang para manusia di balik lurik yang juga terabadikan bersama benang-benang yang terjalin merangkai selembar lurik. Rekaman visual yang mencakup segala pengalaman rasa yang berhasil ditangkap dengan mata, hati serta lensa kamera Edo selama tujuh tahun terakhir saat melakukan kunjungan ke sentra-sentra lurik di Klaten dan Yogyakarta inilah yang ditampilkan dalam pameran Tangan-Tangan Renta Lurik Indonesia ini.
“Sebagai perusahaan yang berasal dari Kudus, Jawa Tengah, Djarum Foundation selalu berusaha memberikan manfaat kepada masyarakat sekitar. Setelah mendukung batik melalui pelestarian Batik Kudus, kini kami berkolaborasi dengan Edward Hutabarat untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat sekitar Klaten dan Yogyakarta dengan mengangkat lurik sebagai salah satu wastra peradaban nusantara. Namun, saat ini para perajin lurik didominasi warga berusia senja tanpa ada regenerasi yang baik. Semoga dengan kolaborasi bersama Edward Hutabarat ini mampu membantu mempopulerkan wastra peradaban nusantara di kalangan generasi muda sehingga ada regenerasi untuk memastikan bahwa lurik akan terus lestari sebagai salah satu wastra kebanggaan Indonesia,” ujar Renitasari Adrian, Program Director Bakti Budaya Djarum Foundation.
Pameran yang juga didukung Hotel Indonesia Kempinski Jakarta ini telah diakurasi oleh Jay Subiakto dari sekian banyak karya Edo. Tak hanya itu, Edo juga mengeksplorasi lurik menjadi instalasi serta benda-benda fashion dan living yang juga ditampilkan dalam pameran selama enam hari tersebut. Selain itu, juga ada workshop menjahit kreasi Lurik bersama Edo di lokasi yang sama.
Sebagai seorang pencinta budaya dan wastra nusantara, Edo telah lama bersinggungan dengan lurik. Namun, ketertarikan Edo untuk mengeksplorasi wastra peradaban yang berasal dari Klaten dan Yogyakarta itu lebih jauh mulai muncul ketika pada Mei 2002 dipercaya oleh keluarga Sultan Hamengkubuwono X untuk mendesain kebaya untuk upacara Tantingan, sebuah ritual penting dalam proses pernikahan seorang puteri keraton. Malam sebelum akad nikah dilangsungkan, GKR Pembayun meminta izin pada ayahnya agar berkenan menikahkannya keesokan hari. Saat persiapan upacara tersebut, Edo yang harus selama beberapa hari bermalam di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat itu melihat bagaimana lurik yang kerap dianggap sebagai kain para kawula alit itu dikenakan para Abdi Dalem penuh rasa bangga. Sejak itu, lahirlah ide untuk mengganti katun impor bercorak garis yang biasa ia terapkan pada busana batiknya dengan garis-garis dari lurik.
Selama menelisik proses pembuatan lurik tersebut, Edo berkarib baik dengan R. Rahmad (85), pewaris perusahaan lurik tertua di Klaten, Sumber Sandang yang didirikan ayahnya, Suhardi, yang merupakan pionir pembuat lurik. Edo juga bersahabat dekat dengan cucu-cucu H. Dibyo Sumarto, pendiri Kurnia Lurik, yang juga pernah berguru pada Suhardi menjalin hubungan akrab dengan Ibu Asmoredjo dan putrinya, Ibu Samto Kamiyem pengerajin lurik senior di Pedan dan Cawas, Klaten serta Yogyakarta.
Edo tak pernah lelah berupaya untuk mengembalikan tangan-tangan muda ke dekat mesin-mesin tenun yang nyaris lupa mereka kenali, apalagi minati. Menurutnya, sudah saatnya tangan-tangan renta itu beristirahat bekerja dan diteruskan oleh tangan-tangan muda. Edo ingin ada tangan-tangan muda yang membantu dan meregenerasi tangan-tangan renta dan memastikan bahwa lurik akan terus lestari sebagai salah satu wastra kebanggaan Indonesia. Semoga melalui kegiatan ini mampu memberikan inspirasi kepada masyarakat terutama generasi muda untuk terus berkarya serta meningkatkan rasa cinta dan kebanggaan sebagai bangsa Indonesia. Mencintai budaya adalah wujud rasa bangga dan cinta kita terhadap Indonesia, karena yang menyatukan bangsa adalah budaya. Cinta Budaya, Cinta Indonesia.