Setelah berhasil melahirkan karya Cry Jailolo dan Balabala yang menonjolkan potensi generasi muda di Jailolo, Maluku Utara, Eko Supriyanto kini melayangkan pandangan pada dirinya sendiri untuk menghasilkan sebuah karya tunggal. Dalam karya ini, Eko berusaha menyuarakan karya tari kontemporer Indonesia dengan menghubungkan latar belakang Jawa yang dimilikinya dengan budaya maritim. Dengan interpretasinya yang dihasilkan dari pengalaman menyelam ke alam bawah laut, Eko mengarahkan perhatian pada irama budaya maritim, memainkan kekuatan laut yang menguasai 80% dari alam di Indonesia ini.
Dalam karya yang berjudul SALT ini, Eko berusaha menggali akarnya sebagai seorang penari yang terlatih dengan vocabulary gerak Jawa yang dilandasi budaya agrikultur, yang eksplorasinya lekat dengan tanah. Hal ini kemudian disandingkannya dengan menceburkan dirinya pada kondisi anti-gravitasi yang dialami ketika kita berada di dalam air, di bawah laut. Karya ini merupakan sebuah representasi dari terdapatnya hirarki kebudayaan dan upaya untuk suatu perubahan perspektif terhadap budaya itu sendiri.
SILENT TOURISM, DE-Sentralisasi, Generasi Muda & Industri
SALT merupakan karya ketiga sekaligus penutup bagi Trilogi Jailolo yang telah dikerjakan oleh Eko selama 5 tahun terakhir, dan merupakan hasil dari kajiannya mengenai Silent Tourism, desentralisasi, generasi muda dan industri.
Trilogi ini berawal dari terciptanya karya Cry Jailolo yang merupakan sebuah pengembangan dari Festival Teluk Jailolo, sebuah festival pariwisata yang melibatkan lebih dari 450 penari di daerah tersebut. Melalui festival ini Eko berusaha untuk memetakan, meneliti, dan menggarap ulang sebuah jurang pemisah yang terjadi pada generasi muda di daerah tersebut dengan budayanya sendiri, hubungan yang terputus antara mereka dengan sejarah dan vokabulari gerak yang muncul di daerah tersebut. Dengan melakukan hal ini, Eko menghasilkan sebuah dialog yang melibatkan isu hirarki budaya di Indonesia Timur.
Dengan memusatkan perhatian pada pembuatan ruang personal di antara program seni yang massal dan kondisi sosio-politik, riset ini kemudian menghasilkan karya-karya Cry Jailolo, Balabala dan SALT. Kenyataan bahwa beberapa karya dalam Trilogi ini bekerjasama dengan para penari non-profesional dan berasal dari pelosok-pelosok terdalam di Halmahera Barat kemudian menarik perhatian publik apresiator seni kontemporer di dunia. Untuk SALT khususnya, Eko menggunakan tubuhnya sendiri sebagai media untuk melakukan revisiting, requestioning, dan reinterpretasi yang membungkus seluruh hasil riset yang selama ini dilakukannya.
Untuk menciptakan ketiga karya dalam Trilogi Jailolo ini Eko menghabiskan waktu riset selama lebih dari 5 tahun terakhir. Khusus untuk karya SALT, riset pendalaman dilakukan selama Februari-Oktober 2017 di Jailolo dan Solo, Indonesia. Sebagai bagian terakhir, karya ini difinalisasi dalam sebuah program residensi di deSingel Internationale Kunstcampus, Antwerp, Belgia selama 2 minggu (Oktober 2017).
Setelah melakukan tour ke beberapa kota dan negara, antara lain Belgia, Jerman, dan Australia, kali ini SALT kembali ditampilkan di tanah air sendiri, yaitu dalam rangkaian PostFest 2018. Penampilan SALT yang didukung oleh Bakti Budaya Djarum Foundation ini digelar pada hari Minggu, 29 Juli 2018 di Graha Bakti Budaya, Jakarta, merupakan bagian dari rangkaian studi akademik dari koreografer Eko Supriyanto dalam usahanya untuk meraih gelar doktor dalam bidang penciptaan seni di Institut Seni Indonesia Surakarta. Sebelumnya gelar doktor telah didapatkan Eko dalam bidang Kajian Seni Pertunjukan di Universitas Gajah Mada pada tahun 2015.
Semoga kegiatan ini mampu memberikan inspirasi kepada masyarakat terutama generasi muda untuk terus berkarya serta meningkatkan rasa cinta dan kebanggaan sebagai bangsa Indonesia. Mencintai budaya adalah wujud rasa bangga dan cinta kita terhadap Indonesia, karena yang menyatukan bangsa adalah budaya. Cinta Budaya, Cinta Indonesia.