Titimangsa Foundation bekerjasama dengan mainteater dan didukung oleh Bakti Budaya Djarum Foundation menggelar pementasan Teater Tari Citraresmi di Kota Bandung. Pertunjukan ini diselenggarakan pada 1 November 2017, pukul 19.30 WIB bertempat di Nu-Art Sculpture Park, Bandung.
"Sejalan dengan Bakti Budaya Djarum Foundation, Titimangsa Foundation yang diprakarsai oleh Happy Salma ini juga memiliki semangat untuk meningkatkan apresiasi masyarakat Indonesia terhadap seni budaya khususnya di bidang seni pertunjukan Indonesia. Karya-karyanya pun selalu mendapat antusiasme yang tinggi dari masyarakat, terbukti dari tiket pementasan yang terjual habis atau registrasi yang melebihi kapasitas. Kami harap, pertunjukan Teater Tari Citraresmi ini dapat dinikmati oleh masyarakat dan dapat memotivasi generasi muda untuk lebih mengapresiasi dan mencintai seni budaya bangsa," ujar Renitasari Adrian, Program Director Bakti Budaya Djarum Foundation.
Pementasan ini diproduseri oleh Happy Salma dan juga disutradarai oleh Wawan Sofwan yang sebelumnya telah menyutradarai berbagai pementasan teater seperti Mereka Memanggilku Nyai Ontosoroh, Monolog Inggit, Musikal Sangkuriang, Rumah Boneka, Subversif dan Bunga Penutup Abad. Lakon ini juga menampilkan Maudy Koesnaedi yang berperan sebagai Citraresmi, didukung oleh Miming Suwandi, Rinrin Candraresmi, Ida Rosida koswara, Ria Ellysa Mifelsa, Hanna Rosiana, Maudy Widitya, Wina Rezky Agustina, Dini Dian Anggraeni, Ulfa Yulia, dan Elfira Sofianni Putri.
"Teater Tari Citraresmi menceritakan kisah dan sejarah seorang putri dari kerajaan Sunda, Dyah Pitalokah Citraresmi yang akan ditampilkan oleh Maudy Koesnaedi. Bersama para seniman perempuan lainnya, serpihan pergulatan jiwa Citraresmi saat terjadi Perang Bubat dihadirkan dalam seni peran, seni tari, dan seni suara sebagai satu kesatuan lakon sebagai bentuk pertunjukkan Citraresmi, dan juga merupakan satu sisi perwakilan kekuatan perempuan," tutur Happy Salma, produser Teater Tari Citraresmi.
Lewat naskah karya Toni Lesmana, Teater Tari Citraresmi mengangkat kisah mengenai Dyah Pitaloka Citraresmi dan tragedi Perang Bubat pada tahun 1261 tahun Saka atau 1339 M, di Kawali, pusat dari Kerajaan Galuh yang disebutkan dalam karya sastra Kidung Sundayana, kitab Pararaton dan kitab Pusaka Pararatwan i Bhumi Jawa Dwipa. Saat dimana perempuan selalu diposisikan pada subordinat berabad-abad lamanya. Dipandang hanya sebagai kaum yang lemah, yang senantiasa membutuhkan bantuan dalam hidupnya. Dijadikan upeti, persembahan, rampasan perang atau terkadang dijadikan alat untuk memperluas wilayah. Seolah-olah sebuah barang ditempatkan seperti benda mati, bukan makhluk hidup yang mempunyai hati dan perasaan.
Citraresmi, putri dari Kerajaan Sunda, berangkat bersama rombongan kerajaan, didampingi ayahnya Maharaja Prabu Linggabuana dan ibunya Ratu Laralinsing untuk melangsungkan perkawinan dengan Raja Hayam Wuruk dari Kerajaan Majapahit yang melamarnya. Tapi sesampainya mereka di Bubat tak ada sambutan dari sang peminang, malah Patih Gajah Mada, meminta Kerajaan Galuh menyerahkan Citraresmi sebagai upeti. Maharaja Prabu Linggabuana tidak terima. Dia memilih untuk berperang dengan pasukan seadanya, tanpa persenjataan yang lengkap, sebab hanya berniat mengantar calon pengantin. Prabu Linggabuana memilih bertempur sampai tumpur daripada harus tunduk kepada Kerajaan Majapahit. Prabu Linggabuana beserta seluruh rombongan akhirnya gugur di medan Bubat.
Lalu Citraresmi? Citraresmi, perempuan yang saat itu nasibnya berada di ujung tanduk, tidak merasa harus tunduk pada keinginan Gajah Mada. Citraresmi menunjukkan sikapnya sebagai seorang perempuan sejati. Dia menghunus patremnya, membunuh dirinya sendiri. Citraresmi tidak ingin takluk pada kenyataan, bahwa dirinya hanya sebuah persembahan. Citraresmi tetap menjunjung tinggi kehormatan Kerajaan Sunda, meski dengan menyerahkan dirinya pada kematian.
"Inilah aku, Citraresmi Putri dari Kawali, aku tak akan lari juga tak akan berserah diri, di sini darah pasukan Sunda mengalir wangi ke langit: kehormatan Galuh, kehormatan Sunda. Tak akan kuberikan diriku sebagai upeti. Akan tetap tegak kehormatan dan harga diri. Penghinaan tak akan bisa menyuntingku. Tak akan bisa menyentuh kehormatan negeriku. Aku, Citraresmi, perempuan yang mereka cari, perempuan yang akan menentukan takdirnya sendiri. Tak akan lari, tak juga akan menyerahkan diri pada Majapahit. Dalam diriku mengalir darah perempuan-perempuan Sunda. Akan kualirkan darah itu dalam kesucian dan keberanian. Darah. Akan kualirkan darah dari perkawinan sejatiku dengan diriku sendiri." (Naskah Citraresmi)
Peristiwa demi peristiwa lahir lewat dialog, monolog, tembang dan juga tarian-tarian yang dikemas lewat gerak koreografi Penata Tari, Rahmayati Nilakusumah menempati bentangan karya instalasi dari Pimpinan Artistik Joko Avianto, Penataan Musik oleh Iman Ulle. Penataan Cahaya oleh Aji Sangiaji, Penataan Kostum oleh putrisavu dan Penataan Rias oleh oymakeup. Menampilkan bentuk Teater Tari yang sarat akan makna dan menggiring penonton meresapi pergulatan hati seorang perempuan bernama Citraresmi, Melati dari Kawali yang teguh memilih nasibnya sendiri.
Semoga kegiatan ini mampu memberikan inspirasi kepada masyarakat terutama generasi muda untuk terus berkarya serta meningkatkan rasa cinta dan kebanggaan sebagai bangsa Indonesia. Mencintai budaya adalah wujud rasa bangga dan cinta kita terhadap Indonesia, karena yang menyatukan bangsa adalah budaya. Cinta Budaya, Cinta Indonesia.