Pada kesempatan kali ini, Teater Gadjah Mada (TGM) bekerjasama dengan Bakti Budaya Djarum Foundation mempersembahkan rangkaian tur bertajuk Lepot dan Jumanis Tamasya ke 4 Kota. Empat kota yang dikunjungi antara lain adalah Yogyakarta pada 4 April 2015 di Gedung Societet Millitair, Taman Budaya Yogyakarta; Purwokerto pada 1 Mei 2015 di Rumah Seni Kie Bae; Magelang pada tanggal 15 Mei 2015 di Desa Sengi, Kecamatan Dukun; dan Kudus pada tanggal 23 Mei 2015 di Auditorium Universitas Muria Kudus.
Diceritakanlah Lepot dan Jumanis, sepasang suami istri penjual gethuk yang saling mengasihi dalam perbedaan. Lepot yang tua dan pemalas bersama Jumanis yang merupakan sosok perempuan muda pekerja keras. Hidup mereka yang berjalan sederhana tiba – tiba berubah pelik, ketika ketela yang merupakan bahan utama untuk mereka membuat gethuk hilang dan justru digantikan pasta gigi yang tiba-tiba memenuhi dapur mereka. Persoalan kembali muncul dengan datangnya para langganan yang mencari dan menagih gethuk. Mereka yang berasal dari latar belakang, kelas, dan lingkungan sosial yang berbeda menjadikan hari Lepot dan Jumanis yang tadinya tenang, berubah layaknya riuh permainan perkusi pembuka pementasan.
“Simbol pasta gigi tidak menggambarkan apapun. Namun, faktanya ketela juga digunakan sebagai bahan baku pasta gigi sebagai pemanisnya. Hal tersebut tak lepas dari digalakkannya hal-hal yang berbahankan alam. Secara keseluruhan, pentas ini ingin menyampaikan bahwa kita dapat memandang hal-hal yang bersifat global tapi dari lingkup terkecil, keluarga. Dimana melalui Lepot dan Jumanis hadir persoalan gender, peran perempuan sebagai tulang punggung, politik, pemerintahan, premanisme hingga dominasi kekuasaan,” jelas sutradara Shoim Mardiyah.
Kisah ini memang terkesan dibawakan secara sederhana dan jenaka. Namun persoalan ketela yang sepele, nyatanya dapat merefleksikan berbagai isu ekonomi dan sosial seperti masalah ketahanan pangan, urbanisasi, segmentasi kelas, dan bahkan birokrasi negara. Uniknya, hal-hal yang terkesan rumit tersebut disampaikan dengan ringan melalui dialog dan candaan antar tokoh yang tak berbelit – belit. “Sederhana, bermakna, komikal dan menggemaskan sekali pertunjukan ini”, begitulah kesan yang sempat diutarakan Muhammad Ramadhani, salah satu penonton dari Fakultas Ilmu Budaya UGM. Kusmartia Dallinestri bahkan berpendapat bahwa banyak sarkasme yang ditampilkan secara eksplisit sebagai humor.
Jogjakarta adalah kota pertama, sekaligus pembuka dari rangkaian tur Lepot dan Jumanis Tamasya ke-4 Kota. Jumlah penonton yang datang membludak, hal ini terlihat dari sebagian penonton yang terpaksa berdiri atau bahkan duduk memenuhi area lalu lintas penonton yang kosong. Mencapai hingga angka 400 orang, penonton ditengarai datang dari berbagai kalangan, mulai dari pelajar, mahasiswa, seniman, hingga rombongan dari SMA Negeri 1 Kebumen yang terutamanya datang dalam rangka keperluan kunjungan budaya, mengingat bahwa ide naskah ini sendiri berawal dari tokoh Lepot dan Jumanis yang memang berasal dari daerah Puring, Kebumen.
Menginjak proses tur Purwokerto, Rumah Seni Kie Bae, Sokaraja menjadi rumah sementara kami. Terletak di pinggiran Kabupaten Banyumas, rupanya tidak menyurutkan antusiasme masyarakat untuk menonton pertunjukan ini. Lokasinya yang terletak di kawasan perkampungan pun justru menarik minat masyarakat sekitar untuk menonton Lepot dan Jumanis. Meski begitu, para mahasiswa dan masyarakat umum yang datang jauh-jauh dari pusat kota Purwokerto bahkan Cilacap juga terlihat meramaikan suasana malam pementasan. Tak hanya itu, malam itu kami juga kedatangan Mbah Tohir, seorang seniman srimulat dari Surabaya, yang akhirnya ikut ikut dilibatkan dalam pertunjukan pada malam hari itu. Usianya yang sudah sepuh tak menyurutkan semangatnya dalam berakting, tak heran tawa penonton terus membahana seiring dengan aksi Mbah Tohir yang luwes dan kocak.
Memilih konsep pemanggungan di taman terbuka atau ruang terbuka (outdoor), pertunjukan kali ini rupanya tak terhindarkan dari hujan yang sempat mengguyur panggung, tepat sebelum pentas hendak dimulai. Sekitar 240 penonton sempat bubar mencari perlindungan dari hujan. Pementasan pun terpaksa ditunda selama 30 menit. Meski hujan masih belum berhenti menyiram setelah 30 menit berjalan, akhirnya kami memutuskan untuk tetap tampil dan tentunya berusaha menampilkan yang terbaik. Antusiasme kami pun rupanya disambut baik oleh penonton, yang meski basah kuyup terpapar gerimis selama kurang lebih 75 menit, tetap setia menonton Lepot dan Jumanis beraksi.
Magelang menjadi kota ketiga dari tamasya ria Lepot dan Jumanis. Bertempat di lereng Gunung Merapi, kami kembali mengusung konsep pemanggungan di alam terbuka. Teater Gadjah Mada bekerja sama dengan kelompok Karang Taruna Desa Sengi, bahu membahu menyulap tanah lapang Sengi menjadi panggung pertunjukan yang apik. Berbeda dengan dua kali tamasya sebelumnya, kali ini Lepot dan Jumanis khusus ditemani oleh pembukaan dari Tari Topeng Ireng “Merapi Kawedar” dari Dusun Gowok Pos dan ditutup oleh Tari Soreng Wanita “Manunggal Jati” dari Desa Wulung Gunung.
Uniknya, acara ini juga menghadirkan Pasar Tiban, dimana para penjual makanan dan mainan mendirikan tenda di sekitar arena pertunjukan guna ikut meramaikan suasana malam itu. Dihadiri oleh sekitar 450 penonton yang melingkari panggung, jarak diantara pemain dan penonton pun perlahan luntur. Para penonton yang berasal dari penduduk Desa Sengi dan penduduk desa sebelah bahkan berbondong-bondong menaiki truk menuju lokasi pementasan, menunjukkan betapa semangatnya mereka untuk turut berpartisipasi dalam kemeriahan tamasya Lepot dan Jumanis.
Pada kesempatan terakhir, Teater Gadjah Mada menyambangi Kota Kretek, Kudus. Bekerjasama dengan Teater Obeng, Lepot dan Jumanis bertempat di auditorium Universitas Muria Kudus, satu-satunya lokasi pementasan yang bertempat di wilayah civitas kampus. Kota Kudus yang sepi rupanya tidak menyurutkan jumlah penoton yang hadir, yakni sekitar 170 orang yang berasal dari kalangan pelajar, mahasiswa dan seniman.
Usai pementasan, dibuka forum diskusi antara tim Lepot dan Jumanis dengan penonton. Penonton memberi reaksi yang begitu beragam, mulai dari beberapa penonton yang mengaku salut dengan konsistensi semangat teater kampus untuk berkarya, hingga bermacam rupa kritik yang membangun. “Sebenarnya apa tujuan kalian mementaskan repertoar Lepot dan Jumanis? Apa yang ingin coba kalian sampaikan?” sempat sebuah tanya terlontar dari barisan penonton, yang kemudian mengingatkan kami akan misi awal kami yang tak lain ingin terus membawakan karya yang apik dan jenaka, namun tetap sarat makna.
Semoga kegiatan ini mampu memberikan inspirasi kepada masyarakat terutama generasi muda untuk terus berkarya serta meningkatkan rasa cinta dan kebanggaan sebagai bangsa Indonesia. Mencintai budaya adalah wujud rasa bangga dan cinta kita terhadap Indonesia, karena yang menyatukan bangsa adalah budaya. Cinta Budaya, Cinta Indonesia.