Ngaji NgAllah yang mengambil tema Fiqh Pecinta ini digelar sebagai puncak acara untuk mengenang 1000 Hari Kiai Sahal. Kegiatan ini menghadirkan Anis Sholeh Ba’asyin, Orkes Puisi Sampak GusUran, dosen-dosen Ipmafa, serta pihak-pihak yang peduli dengan warisan pemikiran KH. A.M. Sahal Mahfudz. Kegiatan yang didukung oleh Bakti Budaya Djarum Foundation ini diselenggarakan pada hari Sabtu, 1 Oktober 2016 di Lapangan Institut Mathali’ul Falah, Jalan Raya Pati, Tayu KM 20, Margoyoso, Pati.
Membaca Mbah Sahal ibn Mahfudz artinya membaca kepribadian seorang manusia komplit. Baju kebesaran mendiang hanya sarung dan kemeja. Kemana pun mendiang bepergian, baju kebesaran yang dikenakan hanya: sarung dan kemeja. Dari kesederhaan tersebut, sosok Mbah Sahal tak kurang berwibawa. Di balik kesederhaan sarung dan kemeja tersebut, adalah seorang faqih yang tabahhur (menyamudra) keilmuannya, penyandang gelar Doktor (HC), dan pakar Ushul Fiqih pada jamannya.
Setiap lebaran, tak jarang ulama sepuh asal Pati tersebut menyambangi rumah-rumah tetangga duluan, untuk memohon maaf terlebih dahulu kepada mereka, sebelum nanti rumah mendiang bakal dikerumuni orang karena berkah keilmuannya.
Beliau memiliki masa yang sama dengan manusia lain, sehari hanya memiliki waktu 24 jam, tak lebih dan tak kurang. Bentuk syukur yang beliau terapkan adalah memanfaatkan waktu itu untuk kebaikan. Oleh karenanya, jika sudah waktunya mengajar Thariqat Al-Hushul ‘ala Ghaayat Al-Wushul yang merupakan syarah dari kitab Lubb al-Ushul yang diampu beliau tiap jam 8 pagi, beliau selalu datang tepat waktu, yang kadang-kadang santrinya belum datang terlebih dahulu.
Dalam memahami Fiqih, satu hal yang jadi orientasi mendiang: umat. Oleh karenanya, bagaimana sebuah fatwa keluar harus melindungi umat. Semisalnya adalah: mengentaskan kemiskinan.
Ia tak tega melihat kemiskinan di Kajen Pati, daerah kelahirannya, dan dengan menggunakan fikih sebagai basis keilmuan, ia melakukan perubahan besar dalam bidang ekonomi kerakyatan. Hingga lahirlah magnum opus mendiang yang bertemakan Fiqih Sosial.
Dalam politik praktis, misalnya, mendiang penyokong gagasan menolak Negara Indonesia berbasis Syariat Islam. Bukan karena mendiang tidak paham, namun mendiang sangat memahami bahwa Hukum Islam tidak seharusnya dipahami dalam dimensi formal-legal.
Dari pengakuan Mathali’ul Falah Kajen, para kiai dan santri mengakui kepakarannya dalam bidang fikih. Para akademisi mengapresiasi keintelektualannya karena mampu memadukan khazanah klasik dan modern. Aktivis LSM mengagumi mobilitasnya dalam menggerakkan perubahan ekonomi rakyat. Kalangan birokrat memuji netralitas dan keteguhannya dalam memimpin. Bangsa ini menyanjungnya karena ia penjaga moral bangsa di tengah demoralisasi akut.
Kenapa Mbah Sahal sedemikian komplit? Karena beliau adalah Manusia Cinta, yang berpandangan fatwa secara Fiqih Cinta. Beliau mencintai Islam dan manusia.