Tasban dan Kebodohannya, Cerpen Ali Mukoddas - Indonesia Kaya

Cari dengan kata kunci

Tasban dan Kebodohannya, Cerpen Ali Mukoddas

Pengumuman Penulisan Cerpen Bli Can_Web copy 8-min

Tasban dan Kebodohannya, Cerpen Ali Mukoddas

Ruang Kreatif

Pemuda berkostum badut itu meringis. Dia melihat anak kecil yang digendongnya berdarah dan tak bernapas. Darah segar merembes dari kostum yang dikenakannya.

Beberapa saat lalu Tabsan menyuruh pemuda berkostum badut itu untuk berlaku selayaknya pekerja. Sedikit mengejek, Tabsan berkata, “Bekerja adalah bergerak, kamu diam begitu lalu dapat uang, apa itu masuk ke kategori bekerja?” 

Sedari awal, Tabsan memperhatikan pemuda tersebut dari kejauhan. Dia melihat dengan jelas, pemuda tersebut tidak memiliki gairah untuk bekerja. Pemuda tersebut hanya berleha-leha menunjukkan kelemahan. Apalagi dengan santainya bersandar ke tiang lampu penyeberangan yang berada di tepi trotoar. Karena jengkel dengan kelakuan pemuda tersebut, Tabsan pergi menghampiri.

Pemuda berkostum badut yang duduk di trotoar itu terdongak. Dia tidak menyangka lelaki yang keras tersebut datang mengawasi. Pemuda itu menggeram, dia ingin berkata bahwa dirinya tidak terbiasa menggendong anak kecil, terlebih itu kali pertama dirinya mengenakan baju badut. Tapi keinginan itu urung mengingat dia hanya akan mendapatkan pukulan dan makian yang tak akan berhenti meski dirinya berkata ampun. Tidak mau mendapat masalah, pemuda tersebut berdiri dan mendekati mobil yang berhenti di penyeberangan jalan. 

“Meski tanpa mengenakan kostum badut, menggendong anak kecil sudah tampak suatu kemelaratan,” pikirnya.  

Dia menganggap dirinya layak dikasihani. Terutama anak kecil yang digendongnya. Bagaimana tidak? Anak kecil itu mendapat pemaksaan dari lelaki paling bebal di bumi. Siang itu, pemuda tersebut menyaksikan sendiri bagaimana lelaki paling bebal itu mengambil si anak kecil dari putrinya sendiri dengan paksa.

“Di rumah ini tidak boleh ada yang nganggur. Hidup adalah bekerja, bila diam, itu sama dengan mati. Anak ini, kalau mau hidup, dia harus bekerja. Kau, Maudy, tak perlulah ikut-ikut gaya ibumu.”  

“Anak itu hanya akan tinggal sebentar, Pak. Nanti sore dia harus pulang.”

“Ini anak akan pulang nanti sore, sekarang masih siang. Cukup panjang waktunya menganggur. Socang! Bawa anak ini. Jangan lupa olesi sedikit oli bekas pada tubuhnya. Kemelasan harus tampak agar menghasilkan uang.”  

Putri Tabsan tidak bisa berlagak seperti ibunya. Meski nurut pada Tabsan, si ibu bisa melontarkan beberapa kata yang akan membuat Tabsan tidak lagi melanjutkan kebebalannya. Seperti pada suatu waktu Tabsan meminta agar segera dibuatkan kopi.

“Pagi begini biasanya ada yang mengepul dari gelas. Ini malah hanya ada asbak yang dingin. Mana bakti seorang istri?” 

“Kan, lebih baik membakar uang agar mulut terus ngepul dibanding uangnya dibuat untuk belanja.” 

Maudy ingin sekali menirukan beberapa kata yang membuat lelaki bebal di depannya mengurungkan niat dalam memaksa anak kecil itu bekerja. Tapi, adiknya, si Socang sudah lebih dulu terbirit membawa anak itu. Maudy paham bagaimana seandainya dia yang menjadi Socang, anak lelaki yang keluar dari pekerjaannya karena berkelahi tapi tak sedikit pun berani melawan lelaki bebal di keluarganya. Maudy membayangkan suatu ketika Socang bisa sedikit melayangkan pukulan ke lelaki bebal itu.

***

Bekerja atau mati. Mengikuti slogan orang yang ditakuti, Socang mengenakan kostum badut. Namun sebelum hal itu terjadi, pemuda itu sempat menyampaikan ketidaksetujuannya. Meski takut, dia berdiri di hadapan lelaki bebal dan mengatakan bahwa dirinya malu untuk bekerja di jalanan. Namun orang yang ditakuti itu tidak mau tahu kondisi orang yang mengajaknya bicara.

“Pakai saja kostum ini kalau kamu malu dengan wajah melasmu itu!”

Pemuda itu tak mengira, kata-katanya akan dengan mudah diselesaikan dengan solusi yang membuat dia bergeming. Sejak kapan lelaki menakutkan itu menyiapkan kostum badut? Apa saat mendengar dirinya keluar dari pekerjaan? 

Melengkapi kelucuan yang dikemas dengan kemelasan, seorang anak kecil yang baru dilihatnya dia gendong. Harus dia gendong di jalanan yang penuh debu, berisik kendaraan dan langit yang bisa kapan saja menumpahkan hujan. Tapi saat pertama dia gendong, anak kecil itu tampak anteng dan memeluk dirinya dengan tenang. Pemuda berkostum badut itu berangkat dan berakhir kebingungan. Dia tidak tahu bagaimana seharusnya badut penggendong anak beraksi.

Pemuda berkostum badut itu berdiri di trotoar, berteduh di bawah pohon yang memiliki daun seadanya. Beberapa orang meletakkan uang kertas di kaleng bekas cat lima kiloan yang dipegangnya.  

Satu jam berdiri, pemuda itu merasa letih. Sesuatu yang digendongnya tidak bersuara. Anak kecil itu seperti menikmati tidur siang dengan dininabobokkan knalpot dan keramaian pejalan kaki. Mengetahui yang digendongnya tertidur, pemuda berkostum badut itu duduk di trotoar. Topeng yang menutupi wajahnya dia naikkan hingga menutupi kepala. Itu memudahkan pemuda tersebut untuk bernapas seraya menekuk kepala. Waktu itu dia sadar bahwa, rasa malu tidak ada apa-apanya dibanding rasa letih.

***

Tabsan memperhatikan Socang anaknya dari kejauhan. Dia melihat seorang pemuda pemalas yang duduk menopang anak kecil di pahanya. Semerta-merta hal itu membuat Tabsan jengkel. Hari pertama bekerja tapi sudah malas-malasan. Tabsan menghampiri pemuda tersebut dan memintanya untuk bekerja sebagaimana mestinya pekerja.

Pemuda berkostum badut itu terperanjat. Dia segera mengambil kaleng bekas cat di hadapannya dan kembali berdiri di ujung penyeberangan pejalan kaki. Lampu penyeberangan berwarna hijau. Beberapa mobil berhenti selagi sekelompok pejalan kaki menyeberang. Pemuda itu berdiri di samping mobil hitam yang lebih dekat dengan trotoar. Dari balik kaca mobil, ia  melihat seorang lelaki tampak kerepotan mencari uang untuk diberikan kepadanya.

Lelaki tersebut menarik sebuah tas yang menampakkan senapan laras pendek di sela tas tersebut. Dia memangkunya dan entah bagaimana, senjata yang larasnya menyembul tersebut memuntahkan peluru, menyerempet kaca mobil yang terbuka setengah. Si pemuda berteriak, dia ketakutan. Sesuatu yang keras terdengar memekakkan telinga dan menciptakan darah di dadanya. 

Tabsan segera melompat dari trotoar dan berteriak bahwa lelaki di dalam mobil adalah  penjahat, teroris, bajingan yang menyakiti anak kecil di jalanan. Para pelintas dan pejalan kaki di trotoar segera mendekat ke tempat gaduh tersebut. Beberapa orang yang melihat bayi berdarah di gendongan pemuda yang gemetar tersebut segera melayangkan tinju ke kaca mobil. Beberapa orang membuka pintu mobil dan menyeret lelaki di dalamnya untuk kemudian ditendang, dan memukulnya tanpa mengukur bes ar atau kecil. Beberapa orang yang memiliki kegeraman dalam hatinya segera bergabung.

Lelaki yang mengendarai mobil tersebut lunglai, jatuh ke aspal. Matanya melihat garis-garis putih dan hitam, berpendar dan memburam. Sepatu-sepatu berjatuhan ke tubuh dan kepalanya. Kedua tangan dan lengan berusaha ia jepitkan ke kepala untuk melindungi tengkorak dan telinganya yang berdengung. Dunia mulai gelap di mata lelaki tersebut. Padahal, beberapa waktu lalu lelaki pengendara mobil itu baru selesai diomeli istrinya. 

Sang istri sangat marah mengetahui suaminya bersantai di Lapangan Tembak selagi mengabaikan puluhan panggilan genting. Lelaki pengendara mobil itu tak ada maksud mengabaikan panggilan, hanya waktu itu dia mengenakan earplug untuk menghindari bising.

Terlebih, itu kali pertama dirinya mencoba senapan Karabin yang telah lama dia incar di suatu pelelangan. Lelaki itu ingin merasakan sensasi klasik tentara di Perang Dunia Dua, maka setelah mengisi administrasi dan persyaratan yang panjang, dia bisa menggunakan peluru asli. Sebagaimana keklasikan, senapan itu macet di muntahan peluru yang ketiga. Lelaki itu melepas earplug untuk mendengar saran pengawas yang membantunya, saat itulah dia sadar telah mengabaikan panggilan dari sang istri. Segera dia menghubungi sang istri. Lelaki itu tak menyangka keadaan darurat datang begitu cepat di tengah kesenangan. 

“Aku tak mau tahu, Pih. Itu gadis gila yang kamu bawa, kamu sendiri, dong, yang mengatasi kegilaannya. Masa kerja baru satu bulan tapi tidak mau bertindak lebih. Dia banyak nganggurnya saat anak kita tidur. Dan sekarang, baru ditegur sedikit, dia pergi membawa Zarin. Pokoknya Zarin harus ada di rumah sebelum malam, kalau tidak aku lapor polisi!”

Sigap lelaki itu menghubungi gadis gila yang dimaksud istrinya. Melalui pesan, gadis itu bersedia menyerahkan anaknya. Tanpa mendengarkan intruksi spotter, lelaki itu menggamit senapan klasiknya dan memasukkan ke dalam ransel. Seraya berjalan, dia membuka ponsel dan mencari alamat yang diberikan si gadis. Pikirnya cukup dekat antara Senayan dengan daerah Kebon Kacang.  

Menerobos jalanan yang mulai macet, lelaki itu tetap menjalin komunikasi dengan gadis yang akan ditemuinya. Sesekali dia mendapat penjelasan bahwa, gadis tersebut tidak ada niatan membawa Zarin pergi. Istri lelaki itu tidak mau memegang Zarin saat Gadis tersebut menyatakan diri akan berhenti bekerja.

Sekarang, lelaki itu tak menyangka dirinya terkapar di aspal. Dia tidak sepenuhnya sadar telah melakukan kejahatan. Dia ingat membawa senapan, tapi dia tidak menarik pelatuk dari senapan itu. Dia hanya berniat baik untuk mengambil uang tunai di dalam ransel.

***

Tabsan, setelah amarahnya terkendali dan melihat beberapa orang mulai reda setelah menjatuhkan pukulan kepada lelaki pengemudi mobil, dia segera mengambil ponsel lelaki tersebut. Ponsel itu berada di atas dashboard mobil. Layar ponsel yang dipegangnya tampak terkunci. Dia harus memasukkan sandi atau sidik jari untuk memeriksa siapa nama bajingan tersebut. Selama berusaha menebak sandi, tampak gambar seseorang yang dikenalnya muncul di notifikasi. Pesan masuk dari seseorang tersebut berbunyi.

 “Sudah sampai mana, Om? Saya tunggu di belokan sebelum masuk wilayah Pasar Kuliner Kebon Kacang, ya.” 

Sesuatu dirasakan bergetar. Tabsan mengambil ponsel dari kantong celananya, beberapa panggilan tidak terjawab. Foto profil dari pemanggil tersebut sama dengan yang ada di ponsel lelaki yang telah didepaknya. Di ponsel Tabsan, seseorang tersebut telah mengirimkan pesan, “Pak, di mana? Aku mau ngambil anak majikanku.”

Jakarta, 23 Desember 2024.