Tangan kecil Wawik bergerak hati-hati, merogoh ke dalam plastik penuh tisu yang tergeletak di depan Pak Zulfikar, penjual tisu buta. Pak Zul duduk di atas tumpukan kardus, tangan kurusnya menghisap pelan sebatang rokok yang tinggal setengah tergantung di jemarinya. Matanya kosong namun tatapannya tetap tajam, memperhatikan setiap gerakan Wawik. Suara gemerisik plastik terdengar samar, namun cukup membuat Wawik menahan napas. Ia melirik wajah lelaki tua itu yang tampak tenang.
“Aku tahu kamu mengambil beberapa tisuku,” kata Pak Zul tiba-tiba. Suaranya tenang, namun menusuk. Wawik membeku sejenak, matanya membelalak. Namun alih-alih mundur, ia malah merogoh lebih dalam, menarik beberapa bungkus tisu lagi dengan gerakan cepat.
Pak Zul hanya tersenyum samar. Di lehernya tergantung sebuah papan sederhana bertuliskan, “Dijual tisu Rp 3.500, terima jasa pijat berijazah.” Setiap hari, pria tua itu duduk di kursi kecil di trotoar depan mal besar di Jakarta, dari pukul dua siang hingga delapan malam.
Hidupnya penuh tantangan: pembeli yang menipu, membayar dengan uang palsu, atau meminta kembalian lebih. Karena itu, ia lebih suka tak memberi kembalian sama sekali, menjual dengan harga pas. Dan sekarang, tisunya dicuri oleh bocah berusia 11 tahun.
“Aku janji akan kembalikan besok, Pak Tua!” Wawik berlari menjauh dengan tisu-tisu di tangannya yang ia peluk. Napasnya terengah-engah saat ia berhenti di ujung gang, menyadari sesuatu. Ia merasa bodoh karena tidak mungkin pak tua itu akan berlari mengejarnya. Ia memandangi tasnya sejenak, rasa bersalah mulai menyelinap di dadanya. Ia mengingat senyum Pak Zul yang membayang di benaknya – senyum tenang dan pasrah. Namun, ia menggelengkan kepala, mencoba mengusir pikiran itu. Wawik menyipitkan mata, terlihat sisa satu tisu di dalam tasnya. Ia akhirnya memasukkan tisu-tisu yang baru diambilnya ke dalam tas kuning lusuhnya.
Wawik tinggal di sebuah gang sempit yang tak lebih lebar dari satu meter, dikelilingi oleh tembok tinggi yang sudah usang. Di ujung gang itu, tumpukan sampah setinggi manusia sering kali menghalangi jalannya. Bau busuk dari sampah yang menggunung menyebar ke seluruh gang, menempel di udara yang lembab dan tak pernah benar-benar bersih. Sesekali, bau busuk itu begitu menyengat hingga membuat perutnya terasa mual.
Ia tinggal bersama seorang ayah yang bekerja sebagai pemulung botol plastik. Tisu dan botol yang dijual bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan makan mereka, tetapi juga untuk membeli perlengkapan sekolah dan membayar biaya berobat Heri, adiknya yang hanya berselang satu tahun— sering kali jatuh sakit.
Ayah mereka tak bisa selalu ada, terlalu sibuk mengumpulkan barang bekas untuk dijual. Dan ibunya? Wawik tak pernah mengenalnya. Ia hanya mendengar cerita tentang wanita yang pergi begitu saja, meninggalkan mereka berdua.
Heri adalah segalanya bagi Wawik. Sebagai kakak, ia merasa bertanggung jawab untuk menjaga Heri, merawatnya, dan melindunginya dari dunia yang keras ini. Mereka tak punya banyak mainan, namun mereka selalu bermain bersama, membuat dunia mereka sendiri dari benda-benda sederhana.
Mereka berbagi mimpi yang sama: menjadi pemain bola terkenal. Beberapa hari lalu, Heri hanya bisa menonton temannya bermain bola. Teman-temannya, tidak memberinya kesempatan untuk ikut bermain karena kemampuan bermain bola Heri berkurang dari waktu ke waktu. Wawik merasa sakit hati melihat adiknya kecewa, “Kami miskin, tapi tidak pantas diperlakukan seperti itu.” Wawik bertekad untuk membeli bola itu agar Heri bisa bermain lagi.
Setiap anak yang berjualan tisu tahu aturan tidak tertulis di jalanan: “Jualan habis, setor; kurang uang, tanggung sendiri.”
Bang Rauf, yang mengatur wilayah mereka, tidak memberikan toleransi sedikit pun. Jika ada yang gagal menyetor uang dengan jumlah yang tepat, mereka akan dihukum. Tak ada alasan atau pengecualian.
Sore itu, uang yang terkumpul dari jualan tisu masih kurang. Setoran untuk Bang Rauf sudah aman, tetapi untuk membeli bola sepak yang diminta Heri masih jauh dari cukup. Ia ingin membelikan bola untuk adiknya, tetapi ia juga tidak bisa mengabaikan aturan Bang Rauf. Jika uang setoran kurang, ia bisa dihukum, dan itu berarti lebih dari sekadar pukulan—itu berarti bisa hilang semua yang ia punya.
Bola sepak yang Heri inginkan harganya 120 ribu, uang yang tak bisa didapatkan Wawik dalam waktu singkat hanya dengan menjual tisu. Sisa uang yang ia punya hanya cukup untuk setoran Bang Rauf—tidak lebih.
Namun, ada satu jalan keluar. Sesuatu yang ia tahu bisa membawanya lebih dekat pada uang yang ia butuhkan. Tisu seorang lelaki tua yang tinggal di ujung gang, Pak Zul. Ia tidak berhubungan langsung dengan Bang Rauf, dan barang dagangannya tidak dikenakan kewajiban setor. Namun, berurusan dengan tisu buta berisiko besar—jika Bang Rauf tahu, ia akan sangat marah. Tidak hanya Wawik yang akan dihukum, tetapi juga Pak Zul bisa menjadi sasaran. Namun, Wawik tidak melihat ada pilihan lain. Ia harus mendapatkan uang untuk bola sepak itu—untuk Heri.
Dengan tisu-tisu itu, Wawik kembali ke perempatan lampu merah dan mulai menawarkan tisu kepada setiap pengendara yang lewat, berusaha mengumpulkan uang sebanyak mungkin.
“Tisu, Pak, 3.500 aja, Pak, buat bantu keluarga.”
Cuaca Jakarta yang mendung membuat jalanan terasa lebih sepi dari pada biasanya. Dengan kaki kecil telanjang menginjak trotoar, Wawik mendapati dirinya berjalan cepat, berpindah dari satu tempat ke tempat lain, mencoba menawarkan tisu kepada lebih banyak orang.
Saat melewati toko kecil, ia melihat bola impian Heri di etalase, sementara uang yang ada di tangannya baru Rp 80.000. Tiba-tiba, Shinder, petugas toko yang tampak atletis, mendekati Wawik.
“Hai, kamu datang lagi. Masih kurang berapa lagi jualanmu hari ini untuk bola ini?” tanya Shinder.
Wawik menjelaskan, “Saya masih kurang 40 ribu lagi, kak.”
Shinder mengeluarkan Rp 20.000 dan memberikannya.
“Ambil saja Dek kembaliannya, dan ini juga ada biskuit buat kamu,” katanya.
Wawik melompat kesenangan. Tinggal jual 6 tisu lagi dan bola itu akan menjadi miliknya. Ia kembali melanjutkan perjalanan.
Namun, tak jauh dari sana, Wawik melihat seorang pria berkulit putih paruh baya yang jelas terlihat bukan dari Indonesia berjalan cepat, tampak terburu-buru. Ia mengikat tali sepatunya yang hampir membuatnya jatuh lalu berdiri kembali memasuki mal. Dengan biskuit di tangannya, Wawik mulai mengikuti orang itu. Wawik terlihat lebih agresif dari biasanya. Namun semakin cepat langkahnya, orang itu terlihat semakin waspada dan mempercepat langkah untuk segera menjauh. Wawik, yang semakin bersemangat, tetap mengikutinya, berharap bisa berbicara dengannya.
Heri yang sedang berjualan tisu di daerah tersebut melihat Wawik dari luar mal, mulai merasa khawatir. Ia mencoba mengejar Wawik yang tampak lebih cepat. Saat Wawik berusaha mendekati pria paruh baya tersebut, ia secara tak sengaja menabrak seorang pengunjung mal.
Dalam sekejap, kebingungan membuatnya terjebak dalam kerumunan. Pria paruh baya yang melihat Wawik tampak mendekatinya, merasa terancam.
“Sir, sir, dompet you sir.” Wawik berteriak karena pria, yang kemudian diketahui orang Jerman itu mulai bereaksi dengan penuh curiga. “Tidak! Saya hanya ingin mengembalikan dompet Anda!” teriak Wawik panik sambil berusaha membuka tasnya…
Namun, karena ketidakpahaman orang itu, ia menganggap Wawik merencanakan perbuatan jahat. Ia berlari ke arah satpam di lobi mal dan menunjuk Wawik. Ketegangan muncul ketika satpam itu mendekat.
“Hei, pergi kamu…” bentak satpam dengan suara tegas, mendorong Wawik.
“Sebentar Pak, saya cuma mau kasih ini…”
Wawik merogoh celananya dengan panik, namun biskuit di tangannya jadi jatuh berserakan. Tiba-tiba pria Jerman itu mengecek kantongnya dan mendapati dompetnya tidak ada.
“Hey he took my wallet!” Ia mendekat.
“Bang, Bang sebentar…” jawab Wawik terbata-bata, berusaha menjelaskan. Satpam itu merogoh kantong Wawik dan menemukan sebuah dompet.
“Hei, kamu bawa dompet ini dari mana?” tanya satpam dengan suara keras.
“Ini dompet siapa? Kamu mencuri…?” satpam itu mendesak, menahan Wawik dengan keras.
“Bu…bukan Bang! Itu saya mau kembalikan,” teriak Wawik, panik. Namun, satpam itu tidak mendengarkan.
Satpam terus menuduhnya mencuri dan memaksa Wawik untuk mengeluarkan semua barang dari tasnya. Dengan geram, pria Jerman itu mengambil dan membuka tas kuning lusuh Wawik dengan paksa, mengeluarkan tisu-tisu itu dengan kasar. Tisu yang ia bawa terjatuh dan bertebaran di lantai yang bersih. Wawik semakin terdesak, membuatnya tidak bisa mengendalikan situasi. Tidak lama setelah itu, keributan tersebut menarik perhatian beberapa orang di sekitar.
Ketika mendengar keributan, Heri langsung berlari menuju mal.
“Jangan ganggu kakakku!” teriak Heri, meskipun tubuhnya kecil dan lemah. Heri mendorong pria Jerman itu dengan sekuat tenaga, berusaha melindungi kakaknya. Satpam itu melerai dan mendorong Heri sampai jatuh. Melihat itu, Wawik secara spontan memukul tangan satpam itu.
Terkejut, tangan satpam itu tak sengaja menghantam muka Wawik. Bibir Wawik pecah! Darah mengalir akibat hentakan tangan kekar itu.
Beberapa saat kemudian Wawik bersama Heri keluar dari mal dengan langkah goyah dengan darah yang masih menetes dari bibirnya. Dalam kekacauan itu, Wawik hanya bisa terdiam, menatap Heri dan berkata, “Aku cuma ingin mengembalikan dompetnya yang jatuh di luar tadi saat dia mengikat sepatu.”
Tisu-tisu yang ia ambil dari Pak Zul dengan niat baik—meskipun dengan cara yang salah— sekarang hanya berantakan, rusak, dan terbuang sia-sia. Saat ia berjalan menuju jalanan, tiba-tiba seorang wanita lewat. Ia melihat Wawik dengan darah di bibirnya, dan tanpa sepatah kata pun, wanita itu berhenti dan berjongkok. Ia mengeluarkan tisu dari tasnya dan dengan lembut menghapus darah yang mengotori bibir Wawik.
“Terima kasih,” kata Wawik, dengan suara lemah, sambil menatap wanita dengan topi hitam dan pakaian rapi yang tiba-tiba muncul di tengah tangis yang ia coba tahan. Wanita itu tidak bertanya, tidak memberi nasihat, hanya membantu dengan apa yang bisa dia beri dan tersenyum. Setelah itu, ia melangkah pergi tanpa menoleh dengan meninggalkan satu tisu saku mungil di tangan Wawik.
Di bawah sinar matahari sore yang mulai memudar, Wawik duduk di trotoar bersama Heri, menatap sisa tisu yang masih ada di tangannya.
“Besok aku akan kembali menjual tisu lebih banyak lagi untuk mengembalikan tisu yang kupinjam dari Pak Zul,” gumam Wawik pelan, menyadari bahwa perjuangannya harus berlanjut. Dengan satu lembar tisu yang tersisa, mereka berjalan pulang.
“Dek, maafkan kakak ya, kado ulang tahunmu harus menunggu.”
Heri tersenyum kecil dan berkata, “Gak apa-apa, Bang. Yang penting kita masih bareng udah cukup.”
Keributan itu sudah reda. Satpam dan petugas lainnya sedang membersihkan sisa-sisa tisu dan remahan biskuit di depan lobi mal. Bang Rauf memasuki mal dengan langkah tenang. Ia baru saja menerima laporan tentang keributan yang terjadi, dan kini ia tengah mencari tahu lebih lanjut. Begitu masuk, ia bertanya pada satpam yang masih berada di lokasi.
“Ada apa, Bro? Kenapa tadi ramai banget?” tanya Rauf, suaranya datar namun penuh perhatian.
Satpam yang masih terlihat sedikit kebingungan menjawab, “Tadi ada anak bertas kuning, Bang. Ketahuan nyuri dompet. Tapi orang yang dicopetnya baik, masih ngelepasin Bang karena anaknya terluka.” Satpam itu melanjutkan ceritanya, “Petugas lagi bersihin, jadi udah aman, Bang.”
Rauf mengangguk, sedikit mencerna apa yang baru didengarnya. Ia tahu betul bahwa Wawik sering berada di sekitar mal ini, menjual tisu yang ia beri. Tapi ada yang mengganjal di pikirannya. Ia melangkah lebih jauh ke tempat kejadian, matanya mulai melirik ke lantai.
Di sana, di antara tisu yang bertebaran, sebuah plastik menarik perhatiannya. Rauf membungkuk dan mengambilnya. Begitu melihat merek tisu yang tertera pada plastik itu, wajahnya langsung berubah. Itu bukan tisu yang biasa ia berikan pada Wawik.