Anak Tisu, Cerpen Karina Adla - Indonesia Kaya

Cari dengan kata kunci

Anak Tisu, Cerpen Karina Adla

Pengumuman Penulisan Cerpen Bli Can_Web copy 10-min

Anak Tisu, Cerpen Karina Adla

Ruang Kreatif

Tangan kecil Wawik bergerak hati-hati, merogoh ke dalam plastik penuh tisu yang tergeletak  di depan Pak Zulfikar, penjual tisu buta. Pak Zul duduk di atas tumpukan kardus, tangan kurusnya menghisap pelan sebatang rokok yang tinggal setengah tergantung di jemarinya. Matanya kosong namun tatapannya tetap tajam, memperhatikan setiap gerakan Wawik. Suara gemerisik plastik  terdengar samar, namun cukup membuat Wawik menahan napas. Ia melirik wajah lelaki tua itu yang  tampak tenang.  

“Aku tahu kamu mengambil beberapa tisuku,” kata Pak Zul tiba-tiba. Suaranya tenang,  namun menusuk. Wawik membeku sejenak, matanya membelalak. Namun alih-alih mundur, ia  malah merogoh lebih dalam, menarik beberapa bungkus tisu lagi dengan gerakan cepat.  

Pak Zul hanya tersenyum samar. Di lehernya tergantung sebuah papan sederhana  bertuliskan, “Dijual tisu Rp 3.500, terima jasa pijat berijazah.” Setiap hari, pria tua itu duduk di kursi  kecil di trotoar depan mal besar di Jakarta, dari pukul dua siang hingga delapan malam.   

Hidupnya penuh tantangan: pembeli yang menipu, membayar dengan uang palsu, atau  meminta kembalian lebih. Karena itu, ia lebih suka tak memberi kembalian sama sekali, menjual  dengan harga pas. Dan sekarang, tisunya dicuri oleh bocah berusia 11 tahun. 

“Aku janji akan kembalikan besok, Pak Tua!” Wawik berlari menjauh dengan tisu-tisu di  tangannya yang ia peluk. Napasnya terengah-engah saat ia berhenti di ujung gang, menyadari  sesuatu. Ia merasa bodoh karena tidak mungkin pak tua itu akan berlari mengejarnya. Ia  memandangi tasnya sejenak, rasa bersalah mulai menyelinap di dadanya. Ia mengingat senyum Pak  Zul yang membayang di benaknya – senyum tenang dan pasrah. Namun, ia menggelengkan kepala,  mencoba mengusir pikiran itu. Wawik menyipitkan mata, terlihat sisa satu tisu di dalam tasnya. Ia akhirnya memasukkan tisu-tisu yang baru diambilnya ke dalam tas kuning lusuhnya.  

Wawik tinggal di sebuah gang sempit yang tak lebih lebar dari satu meter, dikelilingi oleh  tembok tinggi yang sudah usang. Di ujung gang itu, tumpukan sampah setinggi manusia sering  kali menghalangi jalannya. Bau busuk dari sampah yang menggunung menyebar ke seluruh gang,  menempel di udara yang lembab dan tak pernah benar-benar bersih. Sesekali, bau busuk itu begitu  menyengat hingga membuat perutnya terasa mual.  

Ia tinggal bersama seorang ayah yang bekerja sebagai pemulung botol plastik. Tisu dan botol yang dijual bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan makan mereka, tetapi juga untuk membeli  perlengkapan sekolah dan membayar biaya berobat Heri, adiknya yang hanya berselang satu tahun— sering kali jatuh sakit.    

Ayah mereka tak bisa selalu ada, terlalu sibuk mengumpulkan barang bekas untuk dijual. Dan  ibunya? Wawik tak pernah mengenalnya. Ia hanya mendengar cerita tentang wanita yang pergi  begitu saja, meninggalkan mereka berdua. 

Heri adalah segalanya bagi Wawik. Sebagai kakak, ia merasa bertanggung jawab untuk  menjaga Heri, merawatnya, dan melindunginya dari dunia yang keras ini. Mereka tak punya banyak  mainan, namun mereka selalu bermain bersama, membuat dunia mereka sendiri dari benda-benda  sederhana. 

Mereka berbagi mimpi yang sama: menjadi pemain bola terkenal. Beberapa hari lalu, Heri hanya bisa menonton temannya bermain bola. Teman-temannya,  tidak memberinya kesempatan untuk ikut bermain karena kemampuan bermain bola Heri berkurang  dari waktu ke waktu. Wawik merasa sakit hati melihat adiknya kecewa, “Kami miskin, tapi tidak  pantas diperlakukan seperti itu.” Wawik bertekad untuk membeli bola itu agar Heri bisa bermain lagi. 

Setiap anak yang berjualan tisu tahu aturan tidak tertulis di jalanan: “Jualan habis, setor;  kurang uang, tanggung sendiri.” 

Bang Rauf, yang mengatur wilayah mereka, tidak memberikan  toleransi sedikit pun. Jika ada yang gagal menyetor uang dengan jumlah yang tepat, mereka akan  dihukum. Tak ada alasan atau pengecualian.   

Sore itu, uang yang terkumpul dari jualan tisu masih kurang. Setoran untuk Bang Rauf sudah  aman, tetapi untuk membeli bola sepak yang diminta Heri masih jauh dari cukup. Ia ingin  membelikan bola untuk adiknya, tetapi ia juga tidak bisa mengabaikan aturan Bang Rauf. Jika uang  setoran kurang, ia bisa dihukum, dan itu berarti lebih dari sekadar pukulan—itu berarti bisa hilang  semua yang ia punya.   

Bola sepak yang Heri inginkan harganya 120 ribu, uang yang tak bisa didapatkan Wawik  dalam waktu singkat hanya dengan menjual tisu. Sisa uang yang ia punya hanya cukup untuk setoran  Bang Rauf—tidak lebih.  

Namun, ada satu jalan keluar. Sesuatu yang ia tahu bisa membawanya lebih dekat pada uang  yang ia butuhkan. Tisu seorang lelaki tua yang tinggal di ujung gang, Pak Zul. Ia tidak berhubungan  langsung dengan Bang Rauf, dan barang dagangannya tidak dikenakan kewajiban setor. Namun,  berurusan dengan tisu buta berisiko besar—jika Bang Rauf tahu, ia akan sangat marah. Tidak hanya  Wawik yang akan dihukum, tetapi juga Pak Zul bisa menjadi sasaran. Namun, Wawik tidak melihat ada  pilihan lain. Ia harus mendapatkan uang untuk bola sepak itu—untuk Heri. 

Dengan tisu-tisu  itu, Wawik kembali ke perempatan lampu merah dan mulai menawarkan  tisu kepada setiap pengendara yang lewat, berusaha mengumpulkan uang sebanyak mungkin.  

“Tisu, Pak, 3.500 aja, Pak, buat bantu keluarga.” 

Cuaca Jakarta yang mendung membuat jalanan terasa lebih sepi dari pada biasanya. Dengan  kaki kecil telanjang menginjak trotoar, Wawik mendapati dirinya berjalan cepat, berpindah dari satu  tempat ke tempat lain, mencoba menawarkan tisu kepada lebih banyak orang.   

Saat melewati toko kecil, ia melihat bola impian Heri di etalase, sementara uang yang ada di  tangannya baru Rp 80.000. Tiba-tiba, Shinder, petugas toko yang tampak atletis, mendekati Wawik. 

 “Hai, kamu datang lagi. Masih kurang berapa lagi jualanmu hari ini untuk bola ini?” tanya Shinder.  

Wawik menjelaskan, “Saya masih kurang 40 ribu lagi, kak.” 

Shinder mengeluarkan Rp 20.000 dan  memberikannya. 

“Ambil saja Dek kembaliannya, dan ini juga ada biskuit buat kamu,” katanya.

Wawik  melompat kesenangan. Tinggal jual 6 tisu lagi dan bola itu akan menjadi miliknya. Ia kembali  melanjutkan perjalanan.  

Namun, tak jauh dari sana, Wawik melihat seorang pria berkulit putih paruh baya yang jelas  terlihat bukan dari Indonesia berjalan cepat, tampak terburu-buru. Ia mengikat tali sepatunya yang  hampir membuatnya jatuh lalu berdiri kembali memasuki mal. Dengan biskuit di tangannya, Wawik  mulai mengikuti orang itu. Wawik terlihat lebih agresif dari biasanya. Namun semakin  cepat langkahnya, orang itu terlihat semakin waspada dan mempercepat langkah  untuk segera menjauh. Wawik, yang semakin bersemangat, tetap mengikutinya, berharap bisa berbicara dengannya. 

Heri yang sedang berjualan tisu di daerah tersebut melihat Wawik dari luar mal, mulai  merasa khawatir. Ia mencoba mengejar Wawik yang tampak lebih cepat. Saat Wawik berusaha  mendekati pria paruh baya tersebut, ia secara tak sengaja menabrak seorang pengunjung mal. 

Dalam  sekejap, kebingungan membuatnya terjebak dalam kerumunan. Pria paruh baya yang melihat  Wawik tampak mendekatinya, merasa terancam.  

Sir, sir, dompet you sir.” Wawik berteriak karena pria, yang kemudian diketahui orang Jerman itu mulai bereaksi dengan  penuh curiga. “Tidak! Saya hanya ingin mengembalikan dompet Anda!” teriak Wawik panik sambil  berusaha membuka tasnya…

Namun, karena ketidakpahaman orang itu, ia menganggap Wawik  merencanakan perbuatan jahat. Ia berlari ke arah satpam di lobi mal dan menunjuk Wawik.  Ketegangan muncul ketika satpam itu mendekat. 

“Hei, pergi kamu…” bentak satpam dengan suara tegas, mendorong Wawik. 

“Sebentar Pak, saya cuma mau kasih ini…” 

Wawik merogoh celananya dengan panik, namun  biskuit di tangannya jadi jatuh berserakan. Tiba-tiba pria Jerman itu mengecek kantongnya dan  mendapati dompetnya tidak ada. 

Hey he took my wallet!”  Ia mendekat. 

“Bang, Bang sebentar…” jawab Wawik terbata-bata, berusaha menjelaskan. Satpam itu merogoh kantong Wawik dan  menemukan sebuah dompet. 

“Hei, kamu bawa dompet ini dari mana?” tanya satpam dengan suara keras. 

“Ini dompet siapa? Kamu mencuri…?” satpam itu mendesak, menahan Wawik dengan  keras. 

“Bu…bukan Bang! Itu saya mau kembalikan,” teriak Wawik, panik. Namun, satpam itu tidak  mendengarkan. 

Satpam terus menuduhnya mencuri dan memaksa Wawik untuk mengeluarkan semua  barang dari tasnya. Dengan geram, pria Jerman itu mengambil dan membuka tas kuning lusuh  Wawik dengan paksa, mengeluarkan tisu-tisu itu dengan kasar. Tisu yang ia bawa terjatuh dan  bertebaran di lantai yang bersih. Wawik semakin terdesak, membuatnya tidak bisa  mengendalikan situasi. Tidak lama setelah itu, keributan tersebut menarik perhatian beberapa orang  di sekitar. 

Ketika mendengar keributan, Heri langsung berlari menuju mal. 

“Jangan ganggu kakakku!”  teriak Heri, meskipun tubuhnya kecil dan lemah. Heri mendorong pria Jerman itu dengan sekuat  tenaga, berusaha melindungi kakaknya. Satpam itu melerai dan mendorong Heri sampai jatuh.  Melihat itu, Wawik secara spontan memukul tangan satpam itu. 

Terkejut, tangan satpam itu tak  sengaja menghantam muka Wawik. Bibir Wawik pecah! Darah mengalir akibat hentakan tangan kekar itu. 

Beberapa saat kemudian Wawik bersama Heri keluar dari mal dengan langkah goyah dengan darah yang masih  menetes dari bibirnya. Dalam kekacauan itu, Wawik hanya bisa terdiam, menatap Heri dan  berkata, “Aku cuma ingin mengembalikan dompetnya yang jatuh di luar tadi saat dia mengikat  sepatu.”  

Tisu-tisu yang ia ambil dari Pak Zul dengan niat baik—meskipun dengan cara yang salah— sekarang hanya berantakan, rusak, dan terbuang sia-sia. Saat ia berjalan menuju jalanan, tiba-tiba  seorang wanita lewat. Ia melihat Wawik dengan darah di bibirnya, dan tanpa sepatah kata pun,  wanita itu berhenti dan berjongkok. Ia mengeluarkan tisu dari tasnya dan dengan lembut menghapus  darah yang mengotori bibir Wawik.

“Terima kasih,” kata Wawik, dengan suara lemah, sambil menatap wanita dengan topi hitam  dan pakaian rapi yang tiba-tiba muncul di tengah tangis yang ia coba tahan. Wanita itu tidak bertanya, tidak  memberi nasihat, hanya membantu dengan apa yang bisa dia beri dan tersenyum. Setelah itu, ia  melangkah pergi tanpa menoleh dengan meninggalkan satu tisu saku mungil di tangan Wawik.   

Di bawah sinar matahari sore yang mulai memudar, Wawik duduk di trotoar bersama Heri,  menatap sisa tisu yang masih ada di tangannya. 

“Besok aku akan kembali menjual tisu lebih banyak  lagi untuk mengembalikan tisu yang kupinjam dari Pak Zul,” gumam Wawik pelan, menyadari bahwa  perjuangannya harus berlanjut. Dengan satu lembar tisu yang tersisa, mereka berjalan pulang. 

“Dek,  maafkan kakak ya, kado ulang tahunmu harus menunggu.” 

Heri tersenyum kecil dan berkata, “Gak  apa-apa, Bang. Yang penting kita masih bareng udah cukup.”  

Keributan itu sudah reda. Satpam dan petugas lainnya sedang membersihkan sisa-sisa tisu  dan remahan biskuit di depan lobi mal. Bang Rauf memasuki mal dengan langkah tenang. Ia baru saja  menerima laporan tentang keributan yang terjadi, dan kini ia tengah mencari tahu lebih lanjut.  Begitu masuk, ia bertanya pada satpam yang masih berada di lokasi. 

“Ada apa, Bro? Kenapa tadi ramai banget?” tanya Rauf, suaranya datar namun penuh  perhatian.  

Satpam yang masih terlihat sedikit kebingungan menjawab, “Tadi ada anak bertas kuning,  Bang. Ketahuan nyuri dompet. Tapi orang yang dicopetnya baik, masih ngelepasin Bang karena  anaknya terluka.” Satpam itu melanjutkan ceritanya, “Petugas lagi bersihin, jadi udah aman, Bang.”  

Rauf mengangguk, sedikit mencerna apa yang baru didengarnya. Ia tahu betul bahwa Wawik  sering berada di sekitar mal ini, menjual tisu yang ia beri. Tapi ada yang mengganjal di pikirannya. Ia  melangkah lebih jauh ke tempat kejadian, matanya mulai melirik ke lantai. 

Di sana, di antara tisu yang bertebaran, sebuah plastik menarik perhatiannya. Rauf  membungkuk dan mengambilnya. Begitu melihat merek tisu yang tertera pada plastik itu, wajahnya  langsung berubah. Itu bukan tisu yang biasa ia berikan pada Wawik.