Jari-jari api menjalari setiap sisi warung. Badrul tercenung melihat nyala merah yang kian menjadi-jadi itu. Dia tidak tahu apakah harus senang, sedih, atau marah melihatnya. Seru-seruan panik warga bersahutan. Tengah malam itu, si jago merah menari-nari di tengah kontradiksi kecamuk emosi dalam dirinya.
Dia dan Adi sama-sama tahu bahwa barangkali ini adalah kabar baik. Setelah dua bulan semenjak kemunculan warung itu, warung yang keduanya jaga—kepunyaan rentenir yang membelenggu dan membuat mereka putus sekolah—kehilangan para pembeli setia, seolah ada magnet yang menjauhkan orang-orang itu dari tempat keduanya dan mendekatkan ke sana. Kebakaran ini bisa menjadi titik tolak kemunduran warung yang Badrul jaga. Tapi terasa ada sesuatu yang salah di sini, sesuatu yang membangkitkan bulu kuduk dan menyulut sumbu murka di dadanya.
Warung itu sendiri muncul tiba-tiba setelah tiga bulan dia bekerja, menempati ruko yang sebelumnya ditempati pengusaha bengkel yang sedang berada di masa keemasannya. Semula Badrul merasa ada yang janggal, sebab bagaimana mungkin bengkel yang sedang jaya tiba-tiba menutup usaha? Sungguh tidak mungkin. Selain itu, mengapa kemudian ruko itu berganti menjadi warung sembako Madura, sementara tepat di depannya sudah ada warung yang sama?
“Ongghuen cermet, sudah tau ada warung madura di sini masih saja buka warung baru, di depan kita pas lagi, itu mau nyari uang atau musuh?” begitu yang Badrul ucapkan saat pertama kali mengetahui ruko bengkel itu berubah menjadi warung sembako Madura. Bukan main dongkolnya dia, atau mungkin lebih kepada perasaan “tidak habis pikir”.
Badrul duduk di kursi kayu depan warung dekat stan bensin eceran. Diperhatikannya kesibukan jelang pembukaan warung baru itu. Dia mengembuskan napas. Di kepalanya terbetik pemahaman yang sudah lama ia sadari— orang Madura, seperti kebanyakan orang Indonesia, sering kali membuka usaha serupa di lokasi yang sama, hanya karena melihat usaha sebelumnya sukses. “Betapa tidak kreatifnya,” gumam Badrul dalam hati, sambil memijat pelipisnya.
Namun, tak bisa dipungkiri, lokasi itu memang strategis. Terletak di pusat kota, dekat perempatan jalan, fasilitas umum, dan mal-mal. Sebenarnya, siapa pun pasti tergoda untuk memanfaatkannya. Badrul hanya bisa menghela napas lagi. Apa daya, ia bukan pejabat yang berwenang melarang orang lain membuka usaha. Akhirnya, ia memilih melapangkan dada, meskipun pikirannya masih dipenuhi kekhawatiran. Warung itu akan segera buka, dan ia hanya bisa bersiap menghadapi persaingan yang mungkin semakin ketat.
Perasaan dongkol itu pun hilang perlahan, sebelum kemudian digantikan oleh rasa gelisah yang tumbuh rebak seperti rumput nutsedge. Semenjak dibuka, warung itu yang diberi nama Warung Madura Bu Salmi menunjukkan perkembangan yang mengagumkan. Berbanding terbalik dengan yang Badrul dan Adi jaga, yang kian sepi ditinggalkan para pembeli setianya.
Tren kemunduran itu berlangsung konsisten selama sebulan sejak kemunculannya. Badrul merasa pening bukan main. Jika keadaan ini terus berlanjut, maka akan mustahil bagi keduanya untuk bisa melunasi warisan utang ayah. Ibu mereka pun dengan segala kekurangannya—cacat sebelah— terancam dijadikan pembantu tanpa gaji di rumah rentenir itu.
Hal itu adalah mimpi buruk yang tidak boleh terjadi. Sejak wafatnya ayah, Badrul dan Adi sama-sama dipaksa putus sekolah, padahal mereka hanya tinggal menunggu beberapa waktu lagi untuk diwisuda. Sungguh menyakitkan rasanya ketika tas sekolah dan buku-buku pelajaran harus dikarduskan. Lebih menyakitkan lagi rasanya jika mengingat bahwa alasan ayah berutang kepada rentenir itu adalah untuk membiayai pendidikan kakak beradik itu. Entah bagaimana perasaan ayah di atas sana.
Masih jelas teringat malam itu, sehari selepas ayah wafat, bagaimana ancaman si rentenir berhasil menambah deras lanskap sungai di pipi ibu. Rentenir itu mengancam akan menjadikan ibu sebagai pembantu tanpa gaji jika tidak ada kepastian kapan utang warisan ayah bisa dilunasi. Ia juga memberi jalan keluar dengan menyarankan Badrul dan Adi putus sekolah dan bekerja menjaga warungnya, hal yang ditolak mentah-mentah oleh ibu pada awalnya karena itu sama artinya dengan mengkhianati usaha ayah.
“Jangan bicara sembarangan Pak Slamet, kakak berutang ke sampeyan untuk menyekolahkan anak-anak. Apa jadinya jika mereka putus sekolah?” wajah ibu memerah saat mengatakan itu, sementara si rentenir hanya mengendikkan bahu tidak peduli.
Ibu mungkin akan memilih menjadi pembantu daripada membiarkan anak-anaknya putus sekolah, jika saja Badrul tidak mendengar pembicaraan di antara keduanya. Dia dengan suara bulat, yang diangguki oleh Adi, memutuskan berhenti sekolah.
“Kamu pikir gampang hidup tanpa sekolah, Drul? Di? Apa kalian mau seperti ayah kalian, berjuang sampai napas terakhir cuma buat kalian bisa sekolah?” raung ibu. “Kalian kira ini cuma soal duit? Ini soal harga diri! Ayah kalian kerja mati-matian buat apa? Buat kalian sekolah! Kalau kalian berhenti sekarang, itu sama saja nginjak-injak usaha ayah kalian!”
Begitulah malam tersebut, ibu meraung murka memarahi kakak beradik itu, sementara seperti patung, keduanya menulikan diri dari pedih di suara ibu. Malam itu berakhir dengan ibu yang terdiam, mungkin lelah, atau barangkali menyerah. Malam itu, keduanya karang yang berusaha bertahan dari badai di wajah ibu.
Tapi itu hanya cerita lalu. Keputusan telah dibuat dan mereka selangkah demi selangkah berhasil melunasi utang ayah, setidaknya sampai warung itu muncul. Kini, utang ayah terancam tidak bisa dilunasi. Barang-barang tidak laku, beberapa mendekati tanggal kedaluwarsa. Menyetok barang dari pengepul sama saja dengan bunuh diri.
Akhir-akhir ini Badrul mengeluhkan sakit kepala, karena sibuk memikirkan cara agar orang-orang kembali mau membeli di warung yang dia jaga. Solusi yang dipikirkannya adalah dengan membolehkan orang ngebon. Solusi itu jelas saja membuat warungnya ramai selama tiga hari pertama pelaksanaan, sebab banyak orang memang suka ngebon. Namun pada hari-hari setelahnya, hanya sesal yang dia hadapi. Orang-orang itu tidak pernah kembali lagi, hilang, dan warung keduanya pun kembali sepi. Bukan main sakit kepalanya Badrul saat itu. Solusi ngebon menghasilkan tekor.
“Ludes uangnya nanti kak, kalau semua gaji kita dijadikan talangan utang orang-orang itu,” celetuk Adi. Garis-garis di kepala Badrul berdenyut-denyut, tapi itu sudah terjadi.
Solusi lain banyak berseliweran di benak keduanya, seperti memberikan promo dan diskon. Namun tetap tidak ada yang berhasil. Orang-orang tetap memilih untuk berbelanja di Warung Bu Salmi. Setiap solusi hanya akan membuat warung mereka ramai sesaat, lalu sekejap setelahnya, hening. Tempat itu menjadi panti jompo bagi barang-barang yang menjelang kedaluwarsa.
Hari-hari berlalu, warung yang Badrul dan adiknya jaga kian kronis kondisinya. Beberapa hari sebelumnya, Badrul dimarahi oleh rentenir karena melaporkan bahwa warungnya menunjukkan tanda-tanda hendak pailit. Ancaman untuk menjadikan ibunya pembantu tanpa gaji kembali digaungkan. Adi yang sedari awal tegang mendengar laporan sang kakak, kini pias mukanya. Kulitnya yang agak gelap tampak memutih, seperti mengalami penurunan konsentrasi pheomelanin.
Sejak hari itu, kepala Badrul kian dipenuhi cetak biru siasat untuk membuat warungnya kembali jaya. Hal-hal dari yang masuk akal hingga tak masuk akal—mengarah ke kriminal dan sihir—berseliweran di sela akar rambutnya. Badrul sadar bahwa kekuatan ghaib sepertinya diperlukan untuk membuat warungnya bertahan. Ide itu ia sampaikan kepada Adi, yang langsung dibalas gelengan tegas. Adiknya itu tidak menyetujui usulnya, sebab baginya hal itu bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam yang dipegang teguh keduanya.
“Sihir menjurus pada syirik kak, aku tidak mau masuk neraka hanya karena memperjuangkan warung yang bahkan bukan punya kita,” ucap Adi. Sejujurnya ia tak habis pikir dengan ide kakaknya itu, yang notabene merupakan mantan santri. Walaupun belum sempat diwisuda, tapi tidak sepantasnya sang kakak yang hampir 6 tahun duduk di pesantren memiliki ide itu.
“Sudah jangan macam-macam, kalau memang rezekinya, tidak bakal kemana,” lanjut Adi.
Berbicara tentang sihir, Badrul dan Adi sebenarnya sejak sebulan pasca dibukanya Warung Bu Salmi sudah menaruh curiga bahwa si pemilik menggunakan penglaris. Sebab, tidak masuk akal sekali rasanya melihat tempat usaha yang masih seumur rebung sudah begitu sukses, sementara di waktu yang sama, warung mereka perlahan paceklik.
Kecurigaan itu tumbuh kian rimbun manakala Adi bertemu dengan Rama, salah satu mantan pelanggan setianya yang berkhianat ke tempat Bu Salmi, saat pergi ke pengepul terakhir kali. Adi yang sebelumnya cukup akrab dengan si Pandu Jalan amatir itu, tidak bisa menahan keinginannya untuk bertanya mengapa dia tidak lagi beli-beli di tempatnya. Rama cengengesan, ia mengedikkan bahu, ia hanya mengikuti kata hatinya. Awalnya ia datang ke Warung Bu Salmi hanya untuk cek harga. Walaupun harga barang-barang di sana sama dengan harga di tempat Adi, Rama bilang entah mengapa ia jadi ingin berbelanja di sana terus.
“Eh Di, tapi gue yang kapan ada lihat bundelan kecil ada rambut-rambutnya di tempat Bu Salmi nyimpen uang.” Telinga Adi melebar, berusaha mendengar dengan seksama. “Itu apa kira-kira? Jimat kali ye?”
“Ya gak taulah, elu kan pelanggan setianya sekarang, kok gak nanya?” Rama kembali cengengesan mendapat sindiran dari Adi, ia langsung ngacir ke jalan tempat biasa ia bekerja.
Tanpa Rama sadari, ucapannya membuat kecurigaan Adi makin kuat bahwa warung saingannya itu memakai penglaris. Hal itu ia ceritakan pada Badrul yang anehnya hanya dibalas anggukan kecil, berbeda sekali dengan Badrul beberapa hari lalu yang sempat merencanakan melakukan sihir.
“Simpan itu, kita tidak bisa melakukan apa-apa kalau tidak ada bukti.”
Bagi Badrul hal semacam sihir penglaris bukan hal yang mustahil terjadi dalam dunia usaha. Jika ia saja bisa memiliki ide semacam itu, maka orang lain bukan tidak mungkin malah sudah melakukannya. Tapi di semua zaman, setiap penghakiman harus dilandasi bukti kuat, karena tanpanya, prasangka akan menjadi sebatas fitnah dan ia tidak mau mendapat cap sebagai tukang fitnah.
Bulan merangkak menambah gelita malam. Tengah malam adalah jadwal jaga Badrul. Ia yakin, seperti hari sebelumnya, hari ini warungnya pasti akan sepi juga. Karena itu, ia memutuskan untuk salat tahajud sebentar.
Selepas wudu, ia pergi ke ruang depan warung. Saat hendak salat, tanpa sengaja ekor matanya melihat sebuah gumpalan kain putih yang letaknya cukup tersembunyi di bilik belakang lemari pendingin minuman. Penasaran, ia hampiri objek itu, dan menemukan sebuah kain putih yang dibentuk pocong. Badrul terkejut sekali, itu adalah benda yang sering ia dengar dari orang-orang ketika berbicara tentang hal-hal berbau sihir. Benda itu biasanya dipakai di metode sihir, dan tidak ada cerita baik dari penemuan benda itu.
Dengan tergesa diambilnya korek, dan dengan sembunyi-sembunyi ia bakar benda itu. Wangi busuk segera menyapa hidung, membuat ia hampir mual dan membatalkan wudunya. Ia menatap nyalang Warung Bu Salmi yang sedang melayani beberapa pembeli. Ia tidak ingin berburuk sangka, tapi kecurigaannya mengarah kuat kepada si pemilik warung. Namun lagi-lagi ia sadari, tidak ada bukti kuat yang ia miliki, dan ia belum ingin dicap tukang fitnah.
Setelah benda itu tidak lagi tersisa, Badrul segera kembali untuk salat tahajud. Menjelang dua rakaat, telinganya menangkap keributan dari seberang jalan yang ia yakini berasal dari warung saingannya. Dia cepat selesaikan salatnya dan sejurus kemudian sudah berdiri di depan warungnya, terkejut, Warung Bu Salmi dilanda kebakaran hebat. Adi yang tengah tertidur pun ikut terbangun, berdiri di sampingnya, menampakkan raut tak kalah terkejut dari sang kakak. Perasaan dingin merambati Badrul, ia takut tebakannya benar. Di depan sana, di antara kepanikan warga sekitar yang berusaha memadamkan api, ia rasakan tatapan tajam terhunus ke arahnya dari pasangan pemilik warung itu.