Dalam rangka memperingati 44 tahun usianya, Teater Mandiri yang didukung oleh Bakti Budaya Djarum Foundation telah sukses menyelenggarakan serangkaian kegiatan, yaitu Pertunjukan Teater berjudul “K O K”, tanggal 4 dan 5 Agustus 2015, di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki. Penerbitan Buku Teater Kumpulan Naskah Putu Wijaya berjudul TEROR MENTAL, serta Lomba Baca Puisi dan Monolog, tanggal 11, 12, dan 14 Agustus 2015, di Galeri Indonesia Kaya.
Tentang lakon “KOK”
KOK yang memiliki berbagai arti adalah ekspresi yang sangat tergantung oleh konteksnya. Pada saat apa dipergunakan. Kapan dan oleh siapa. Dalam lakon KOK, suku kata tersebut cenderung sebagai seruan keheranan. Bukan kata. Hingga tidak tercantum dalam kamus, seperti juga seruan-seruan lain, misalnya: wah, hah, o, hee dan lain-lain. Tapi sesuai dengan berbagai ekspresi tiruan bunyi yang tidak dianggap kata di dalan kamus, ia adalah bagian dari bahasa kologial yang menyerakkan perasaan, bukan benda kongkrit maupun abstrak. Kok adalah bahasa percakapan yang maknanya ambigu. Sangat tergantung pada siapa, dalam konteks apa serta bagaimana mengucapkannya.
Dalam lakon KOK, seruan kok mengandung keterkejutan yang ingin menyanggah atau menolak. Kira-kira sama dengan kata “masa”. Tapi bukan hanya itu. Dalan lakon KOK, kok juga berarti sebuah pertanyaan yang menggugat. Yakni : “mengapa?” Lakon KOK adalah usaha untuk menyanggah opini, bahwa rasa kebangsaan sudah menipis. Bahkan ada yang mengkhawatirkannya telah hilang.
Itu dibuktikan dengan semakin berkurangnya gelora masyarakat, dalam menyambut 17 Agustus. Sudah berkurang atau bahkan harus jor-joran membuat gerbang yang melukiskan semangat bambu runcing. Tidak ada lagi pawai obor keliling kota, serta renungan suci di makam pahlawan. Bahkan banyak orang sudah tidak memasang bendera merah putih dengan berbagai alasan. Lupa, tidak punya bendera lagi. Atau malas. Sering meskipun memasang tapi setengah hati. Bendera asal pasang, siang malam dibiarkan, kalau hujan pun tidak dipedulikan. Ada juga yang memasang bendera di atas pohon tinggi. Tapi meskipun bulan proklamasi sudah lewat, dibiarkan di situ hingga belel dan compang-camping.
Benarkah semua itu tanda rasa kebangsaan itu sudah terkikis? Lakon KOK membantahnya.
Kok rasa kebangsaan diadili dengan pemasangan bendera? Di masa lalu, ketika kemerdekaan baru diproklamirkan, evoria kemerdekaan benar-benar berkobar, kata merdeka laris. Banyak orang memakai kopiah yang berhias asesoris merah-putih kecil. Hiasan itu juga di sematkan di baju. Tetapi sejalan dengan semakin tuanya usia kemerdekaan kesibukan masyarakat pun bertambah. Hidup mulai keras, kompetisi menjadi panas. Tidak cukup lagi hanya sandang-pangan dan papan, orang ingin hidup lebih sejahtera.
Semangat dan enersi tidak dikerahkan lagi pada merebut kemerdekaan, tapi merebut hidup lebih nyaman. Penampakan semangat kemerdekaan tertutup oleh kehidupan lebih sukses. Tetapi ketika ada tantangan, semangat kebangsaan meluap lagi. Contohnya, ketika beberapa seni-budaya Indonesia-misalnya batik-diakui negara lain, semua orang marah, sejak itu, batik yang hanya dipakai keperluan-keperluan tertentu, memacu batik untuk berbagai kebutuhan. Bukan hanya pejabat pakai batik, para selebriti juga. Kini batik berkembang pesat.
Dalam lakon KOK, nyonya Baron memasang bendera terbalik, merahnya di bawah, putihnya di atas. Kalau dipancing rasa kebangsaan masyarakat berkobar lagi. Massa ngamuk dan membakar rumah nyonya Baron. Tetapi di luar pengetahuan masyarakat, semua itu memang rencana Nyonya Baron. Ia sudah mengasuransikan rumahnya. Meskipun rumah Nyonya Baron hancur, ia mendapat jumlah fantastis.
Itu plot pertama KOK. Plot kedua: ternyata Nyonya Baron tahu bahwa rasa kebangsaan tetap tebal, meskipun tidak kelihatan, kalau tetap menghambatnya akan meledak. Kok Nyonya Baron tega menipu masyarakat. Dia sudah kaya, kok masih ingin lebih kaya lagi?
Demikianlah pertunjukan KOK, bukan hanya hiburan tapi renungan menyambut peringatan hari proklamasi.
BUKU TEROR MENTAL KUMPULAN DRAMA PUTU WIJAYA.
Disamping pementasan dan lomba, Teater Mandiri juga atas dukungan Bakti Budaya Djarum Foundation menerbitkan buku berjudul Teror Mental. Teror Mental adalah kumpulan naskah teater setebal 700 halaman, hard cover. Berisi 12 Lakon Putu Wijaya (Bila Malam Bertambah Malam, Aduh, Edan, Los, Gerr, Aum, Hah, Cipoa, Dor). Buku tersebut tidak diperjual-belikan. Disumbangkan ke perpustakaan, kampus, sekolah dan aktivis teater.
Penerbitan Teror Mental dilakukan, mengingat langkanya penerbitan lakon drama Indonesia. Akibatnya panggung teater modern Indonesia sering memakai naskah mancanegara, karena sulit mencari lakon Indonesia. Akibatnya, teater modern Indonesia tidak pasih menampilkan bau Indonesia di panggung. Tapi citra Barat pun tanggung.
Jadi di balik penerbitan buku kami ingin ikut menebalkan rasa kebangsaan yang konon sudah terkikis.
LOMBA BACA PUISI DAN PENAMPILAN MONOLOG
Atas dukungan “Bakti Budaya Djarum Foundation” dan “Galeri Indonesia Kaya” (GIK), seperti tahun lalu, Teater Mandiri, kembali menyelenggarakan lomba baca puisi dan penampilan monolog. Keduanya tidak memungut uang pendaftaran, tapi justru ada hadiah uang bagi pemenang.
Tak tersangka-sangka, lebih heboh dari tahun lalu, pendaftar tidak hanya datang dari Jakarta, juga dari Depok, Malang, Yogya, Bandung, Banten dan Kalimantan. Akibatnya kami terpaksa melakukan seleksi dan menutup pendaftaran lebih cepat. Karena hanya ada 3 hari yang bisa dipergunakan di GIK, yang jadwalnya padat sekali.
Lomba baca puisi dari 120 pendaftar yang disaring menciut jadi 70 setelah diseleksi lagi, tinggal 40-an. Lomba berlangsung tgl 11 Agustus 2015, menghasilkan 16 finalis.
Babak final diselenggarakan tgl 14 Agustus 2015 dan menghasilkan juara 1,2,3 dan 1 juara harapan. Juri puisi: Jos Rizal Manua, dr. Amaroso Katamsi dan Acak Winarso. Juri monolog: N. Riantiarno, Yanto Kribo dan Putu Wijaya.
Dibandingkan dengan tahun lalu, jumlah peserta melonjak. Kualitasnya juga lebih baik. Hanya pembekalan yang dilakukan sebelum lomba, masih belum tersosialisasikan sempurna. Pembekalan tersebut bukan untuk menyeret peserta ke arah gaya tertentu. Tapi memaksimalkan potensi mereka sendiri, agar lomba bertambah seru.