Program pementasan Indonesia Kita, yang didukung Djarum Apresiasi Budaya, kembali hadir dengan lakon berjudul Datuk Bagindo Presiden pada 28-29 Agustus 2015 di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Laskar Dagelan, Beta Maluku, Kartolo Mbalelo, Mak Jogi, Kutukan Kudungga, Kadal Nguntal Negoro, Jogja Broadway “Apel I’m in Love”, Kabayan Jadi Presiden, Maling Kondang, Nyonya-nyonya Istana, Orde Omdo, Matinya Sang Maestro, Roman Made In Bali, Semar Mendem, Tabib Dari Timur dan Sinden Republik, adalah sederet pementasan yang telah terlebih dahulu di pertunjukan dalam program Indonesia Kita.
“Djarum Apresiasi Budaya telah mendukung program Indonesia Kita selama lima tahun, dimulai dari tahun 2011 dan berlanjut hingga tahun 2015. Program “Indonesia Kita” telah menjadi magnet bagi masyarakat, terbukti dari setiap pelaksanaannya selalu mendapat apresiasi yang sangat tinggi dengan penjualan tiket pertunjukan yang selalu habis, bahkan hingga menggelar pertunjukan tambahan untuk melayani permintaan masyarakat yang tidak kebagian tiket di pertunjukan regularnya. Mereka selalu mengangkat isu sosial dengan membawa perspektif berbeda ke panggung pertunjukan yang dikemas secara artistik. Dan pada tahun ini, program Indonesia Kita akan menampilkan empat pertunjukan yaitu, Tabib dari Timur, Sinden Republik, Datuk Bagindo Presiden dan Monumen Kenangan,” ujar Renitasari Adrian, Program Director Bakti Budaya Djarum Foundation.
Program Indonesia Kita ke-17 ini mengajak kita mengenang dan meminang ‘Minang’ untuk Indonesia melalui kebudayaan. Dalam mengenang Minang tentu tak bisa dilepaskan dari ingatan kita akan tokoh-tokoh nasional perjuangan kemerdekaan Indonesia. Sosok seperti Bung Hatta, Sjahrir, Agus Salim, Buya Hamka, dan di masa sekarang adalah Buya Syafiie Maarif, merupakan tokoh nasionalis asal Minang, yang memiliki sikap kebangsaan dan religi yang kental. Mereka memiliki akar kultural dan pendidikan agama yang kuat, dan terus bertumbuh menjadi pemimpin yang menghargai sikap kebangsaan dalam konteks pluralisme di Indonesia. Inilah tema dasar yang ingin diingatkan kembali, yaitu meminang kembali para cendikiawan dan budayawan Minang agar kembali berdiri di barisan terdepan dalam membangun wawasan kebangsaan, ketika puritanisme dan radikalisme terasa semakin kuat.
“Selama ini, melalui pentas-pentas Indonesia Kita, kami mencoba memahami kembali Indonesia sebagai sebuah proses panjang berbangsa dan bernegara melalui jalan kesenian serta kebudayaan. Sebagai sebuah proses dialog, kami juga selalu mengajak para seniman-seniman Indonesia untuk berkolaborasi,” ujar Butet Kartaredjasa, penggagas ide Indonesia Kita.
Pementasan Datuk Bagindo Presiden ini melibatkan aktor dan aktris senior serta beberapa musisi berdarah Minang, yang memiliki semangat untuk ikut menyampaikan pesan dan harapan lakon ini. Seniman kawakan seperti Jajang C. Noer, Lukman Sardi, Nirina Zubir. M. Fadhli Wayoik, Buset, rapper Tomy Bollin, pedendang Melayu Titis Silvia, Rancak Voice dan Sa’andiko akan berkolaborasi dan beradu akting dengan komedian seperti Cak Lontong, Akbar serta Trio GAM. Permainan musik lakon ini akan dihiasi oleh kolaborasi antara Ian Antono, gitaris rock legendaries Indonesia, dengan komposer Yaser Arafat. Sebagai koreografer tari berdarah Minang, Alfiyanto akan berdialog dan mengungkapkan perasaan, maksud serta pikirannya melalui gerak tubuh. Kolaborasi elemen-elemen tersebut akan memperkuat dan mempertegas pementasan ini.
Tentang Datuk Bagindo Presiden
Harapan baru muncul ketika seorang Presiden dari Minang muncul. Ia memenangkan pemilihan, karena dicintai rakyat. Ia memang dikenal jujur dan sederhana. Tapi persoalan dalam politik rupanya tidak sesederhana yang ia sangka, karena ia dikelilingi bermacam kepentingan. Para staf kabinet, para menteri, dan birokrat yang ada disekitarnya, ternyata membawa kepentingannya masing-masing.
Pada suatu kesempatan, Presiden ini pulang kampung karena ingin bertemu ibunya. Ia disambut meriah, semua bangga, tetapi ibunya menyambut dengan biasa dan sederhana. “Saya sudah jadi Presiden, mak” katanya. Ah, jadi sekarang gelarmu Presiden? Mestinya kalau gelar itu ya mesti panjang, jangan cuma Presiden. Apa hebatnya kalau cuman bergelar Presiden, mestinya kau bergelar Datuk Bagindo Presiden. Sejak itulah ia dikenal dengan gelarnya itu.
Saat pulang kampung itulah, Datuk Bagindo Presiden mulai melihat banyak kenyataan pahit, kampungnya yang masih terbelakang, kemiskinan dan banyak persoalan sosial. Ternyata selama ini program yang dijalankan tidak pernah berhasil karena selalu diselewengkan oleh bawahannya. Maka Presiden pun tak sekedar blusukan, tapi menyamar seperti yang dulu dilakukan Khalifah Umar Bin Khatab yaitu datang langsung ke rakyatnya, menanyakan persoalan hidup mereka lalu menyelesaikannya.
Apa yang dilakukan Datuk Bagindo Presiden mencemaskan orang-orang disekelilingnya yang korup. Mereka pun berusaha menghentikan kegiatan menyamar itu dengan melakukan banyak intrik agar kegiatan menyamar itu tidak berhasil membantu rakyat. Mampukah seorang yang jujur dan punya niat tulus seperti Datuk Bagindo Presiden berada di tengah-tengah lingkungan yang korup? Itulah pertanyaan dasar dari pertunjukan ini, yang mencoba memotret perjuangan moral di tengah sistem dan lingkungan yang telah sedemikian korup.
Sekilas tentang Indonesia Kita
Sejak tahun 2011, Indonesia Kita tercatat rutin mengadakan pertunjukan antara lain Laskar Dagelan, Beta Maluku, Kartolo Mbalelo, Mak Jogi, Kutukan Kudungga, Kadal Nguntal Negara, Kabayan Jadi Presiden, Maling Kondang, Nyonya-Nyonya Stana, Orde Omde, dan masih banyak lagi. Dalam pentas-pentas tersebut ikut mendukung Glenn Fredly, Sujiwo Tejo, Kill The DJ, Didi Petet (alm), Hanung Bramantyo, Oppie Andariesta, Nirina Zubir, dan masih banyak lagi. Di tahun 2014 lalu, Indonesia Kita menggelar tiga pementasan, Matinya Sang Maestro, Roman Made In Bali dan Semar Mendem yang menampilkan para seniman tradisi hingga kontemporer, seperti Cak Kartolo, Didik Nini Thowok, Balawan, I Made Sidia, Ayu Laksmi dan Jogja Hip-hop Foundation.
Pentas-pentas Indonesia Kita selalu menjadi sebuah upaya menyampaikan gagasan perihal keberagaman dan kebersamaan tentang Indonesia. Pentas menjadi sebuah jalan artistik dan kebudayaan, untuk menumbuhkan sikap toleran dan menghargai keberagaman, hingga Indonesia bisa menjadi “rumah bersama”. Terlebih-lebih ketika Indonesia hari ini seperti rentan dan penuh berbagai persoalan. Pelbagai kerusuhan dan ketimpangan sosial, gejala-gejala intoleransi kehidupan yang kian rentan dan gampang meledak, ketidakadilan dan persolan hukum dan merosotnya etika politik, menjadi campur aduk: menimbulkan banyak persoalan yang pada tingkat tertentu membuat banyak orang mempertanyakan kembali perihal ke-Indonesia-an yang pernah dan ingin dicita-citakan bersama.
Melalui pentas-pentas itulah Indonesia Kita yang mengangkat kekayaan dan kekuatan etnis, sekaligus modernitas yang berlangsung dalam masyarakat, Indonesia Kita mendorong tumbuhnya sikap saling memahami, sikap membuka diri sebagai dialog dan keberagaman. Melalui pentas-pentas itulah, ke-Indonesia-an coba didialogkan kembali, diekspresikan kembali, agar semangat berbangsa dan bernegara selalu aktual dan semakin menumbuhkan keberagaman.