Penduduk yang tinggal di sebelah barat sungai Progo banyak yang ditangkap dan dipenjara oleh prajurit Belanda. Mereka disiksa sambil dikorek informasinya bila ada kemungkinan sebagai pengikut Pangeran Mangkubumi. Meski disiksa, mereka tetap diam, demi keselamatan sang pangeran. Sikap mereka inilah yang menyebabkan prajurit Belanda kesulitan mencari tempat persembunyian sang pangeran.
Keterlambatan informasi yang diperoleh prajurit Belanda berarti kesempatan bagi Pangeran Mangkubumi untuk memperkuat pertahanan dan siap berperang. Dari tempat persembunyian di Begelen, ditepi sungai Bogowonto ini, ia banyak mendapat tambahan kekuatan dari penduduk sekitar, seperti Jaka Sangkrib, Rara Winih, dan para Kenthol. Bahkan untuk menambah semangat juang para prajurit, Demang Purwareja dengan rela hati menyerahkan pusaka yang berwujud gamelan dan tombak.
Pada saat tempat persembunyian Pangeran Mangkubumi diketahui musuh, perangpun tidak dapat dihindarkan. Hingar bingar suara gamelan dan sorak para wiyaga yang mengiringi peperangan, menambah semangat para prajurit. Dengan semangat perang tinggi, Prawirarana dengan membawa tombak pusaka milik Demang Purwareja berhasil membunuh Mayor De Clerq, pimpinan pasukan Belanda. Pasukan Belanda kocar-kacir.
Tumenggung Martapura dan RM Suwandi yang semula berpihak kepada Belanda, kini berbalik mendukung Pangeran Mangkubumi. Belanda ketakutan, ia lalu mengutus Syekh Ibrahim untuk menemui sang pangeran. Ia meminta agar sang pangeran menghentikan pemberontakan dan ia akan diangkat sebagai raja Mataram. Tawaran ditolak, karena Mataram telah memiliki raja. Peperangan dilanjutkan secara gerilya, untuk mengurangi jumlah korban.
Belanda kembali mengajak untuk berdamai. Dengan duduk bersama, tanpa perang, diharapkan dapat menyelesaikan persoalan. Pangeran Mangkubumi menyetujui. Terjadilah perjanjian Giyanti dan dilanjutkan dengan perjanjian Jatisari. Mataram dibagi dua, Keraton Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Mangkubumi menjadi raja di Kasultanan Yogyakarta dan membangun keraton baru bersama pengikutnya.
Pertunjukan berjudul Sorak Bogowonto tersebut dipersembahkan oleh Kethoprak Conthong Yogyakarta didukung oleh Bakti Budaya Djarum Foundation di Gedung Concerthall Taman Budaya Yogyakarta tanggal 8 dan 9 Juli 2016.
Sorak Bogowonto dipilih sebagai tema yang paling tepat dimana berdirinya Keraton Yogyakarta tidak lepas dari peran masyarakat Bagelen dengan para “KENTOL” nya. Bogowonto adalah nama sungai di sebelah barat Yogyakarta yang mengalir melintasi Bagelen kabupaten Purworejo, Jawa Tengah. Sungai ini berdekatan dengan sungai Progo di Kabupaten Kulon Progo Daerah Istimewa Yogyakarta dimana daerah ini merupakan persinggahan sekaligus tempat persembunyian Pangeran Mangkubumi.
Para “KENTOL” ini memiliki peran bagi masyarakat Jawa Tengah mulai dari Kabupaten Purworejo sampai perbatasan Jawa Tengah bagian barat. Mereka adalah sekelompok atau kumpulan orang-orang tangguh, cekatan, dan sakti yang memiliki keyakinan dan kesetiaan pada pemimpin yang mengayomi rakyat.
Semoga kegiatan ini mampu memberikan inspirasi kepada masyarakat terutama generasi muda untuk terus berkarya serta meningkatkan rasa cinta dan kebanggaan sebagai bangsa Indonesia. Mencintai budaya adalah wujud rasa bangga dan cinta kita terhadap Indonesia, karena yang menyatukan bangsa adalah budaya. Cinta Budaya, Cinta Indonesia.