Senyum manis tersungging dari wajah coklat kehitaman. Gigi putih bersih tampak begitu jelas diantara warna gelap kulit penduduk kota itu. Orang-orang ini menyambut kedatangan saya di wilayah mereka dengan begitu ramah. Langit yang mulai cerah memanas pun mulai terasa pertanda saya harus mencari tempat singgah dan berteduh sebelum melanjutkan perjalanan. Inilah kesan pertama ketika saya menjejakkan kaki di Ibukota Kabupaten Seram bagian Barat yang bernama Piru.
Seram bagian barat adalah sebuah Kabupaten yang masih tergolong baru di provinsi Maluku. Kabupaten ini berdiri sekitar tahun 2003 dan merupakan pemisahan dari wilayah Maluku Tengah yang sudah lebih dulu berdiri. Wilayahnya cukup luas dengan cakupan 84.181 kilometer persegi dan sebagian besarnya merupakan wilayah lautan. Ibukota Kabupaten ini bernama Piru yang berasal dari kata “Hatu Telu” dengan arti tiga batu. Pada masa lalu, Piru dikenal sebagai pusat kegiatan Kolonial Belanda di dalam mengawasi monopoli perdagangan rempah-rempah di wilayah Pulau Seram. Piru sendiri kini berfungsi sebagai pusat pemerintahan kabupaten Seram bagian Barat yang membawahi sekitar 11 Kecamatan dengan potensi wilayah yang masih terus dikembangkan.
Perut saya memang kosong ketika sampai di Piru. Perjalanan yang cukup lama membuat saya membutuhkan asupan makanan lebih. Sayangnya, belum banyak warung makan yang buka ketika saya sampai disana, padahal waktu sudah menunjukkan pukul 09.00 waktu Indonesia bagian Timur. Saya pun memaksakan tetap mencari warung makan karena rasa lapar yang sudah tidak tertahankan lagi. Serasa gayung bersambut, sebuah warung makan pun tampak baru saja membuka lapaknya. Tanpa banyak mengira-ngira, saya pun bergegas menuju warung makan tersebut dan memesan sepiring gado-gado yang menjadi menu andalannya.
Kota piru memang masih tergolong sepi, dengan penduduk yang maksimal hanya mencapai kurang lebih 60.000 orang saja. Aktifitas harian kota ini pun tergolong santai, itu sebabnya warung makan baru buka sekitar pukul 09.00 pagi. Mata pencaharian penduduk kota ini pun tergolong masih berkembang dengan mayoritas sebagai petani, umumnya padi dan tanaman palawija. Namun demikian, secara etnis penduduk Piru termasuk heterogen karena banyaknya pendatang yang memutuskan untuk tinggal di kota ini. Para pendatang ini biasanya pindahan dari Ambon, Makasar, Buton, bahkan para transmigran dari pulau Jawa.
Kota Piru memang masih terus dikembangkan dan pertumbuhannya tergolong positif. Walaupun ketika kerusuhan Ambon, Seram Barat juga termasuk yang terkena dampak buruk namun para penduduk di Kota Piru sudah sepakat untuk terus menjaga keutuhan sikap toleransi mereka. Kondisi heterogen yang ada di Kota ini cukup bermanfaat bagi penduduknya untuk membiasakan diri saling menghormati dan menghargai sekalipun memiliki banyak perbedaan. Kini dengan Kota Piru sebagai ibukotanya, Kabupaten Seram bagian Barat termasuk wilayah yang memiliki potensi luar biasa di Maluku dilihat dari berbagai sektor terutama pertanian dan pariwisata. [Phosphone/IndonesiaKaya]