Kalimantan Selatan dikenal dengan jaringan sungainya yang memesona, menghubungkan satu daerah dengan daerah lainnya. Sungai bukan hanya jalur transportasi penting, tetapi juga ruang hidup yang membentuk tradisi masyarakatnya. Salah satu manifestasi khas dari budaya sungai ini adalah keberadaan pasar tradisional yang berlangsung langsung di atas air—seperti Pasar Terapung Lok Baintan di Martapura yang telah menjadi ikon budaya sekaligus daya tarik wisata.
Di provinsi ini, setidaknya masih ada dua pasar terapung yang bertahan ratusan tahun: Pasar Terapung Muara Kuin di Banjarmasin dan Pasar Terapung Lok Baintan di Martapura. Keduanya menjadi saksi hidup aktivitas ekonomi yang telah berlangsung lintas generasi di atas aliran sungai.
Lebih dari sekadar transaksi, di pasar terapung ini masih hidup sistem barter tradisional.
Kedua pasar ini juga menjadi destinasi wisata unggulan yang menawarkan pengalaman unik. Dari atas jukung—perahu tradisional khas Banjar—pengunjung bisa menyaksikan langsung suasana jual-beli yang semarak. Perahu-perahu berdesakan, pedagang dan pembeli berseliweran, menciptakan keramaian yang khas dan autentik. Menariknya, sebagian besar pedagang adalah perempuan yang mengenakan tanggui, topi lebar dari daun rumbia yang menjadi ciri khas pasar ini. Lebih dari sekadar transaksi, di pasar terapung ini masih hidup sistem barter tradisional yang disebut bapanduk dalam bahasa Banjar, menambah keunikan tersendiri dalam denyut ekonominya.
Kedua pasar terapung tersebut tidak hanya menjadi ruang transaksi ekonomi, tetapi juga jejak dari sejarah panjang kehidupan sungai di Kalimantan Selatan. Salah satu yang memiliki nilai historis kuat adalah Pasar Terapung Muara Kuin, yang keberadaannya berkaitan erat dengan berdirinya Kerajaan Banjar—bahkan diyakini telah muncul sebelum kerajaan itu sendiri.
Kerajaan Banjar dan Lahirnya Tradisi Perdagangan di Atas Air
Pada pertengahan abad ke-16, Sultan Suriansyah mendirikan Kerajaan Banjar di tepi Sungai Kuin dan Barito, wilayah yang kemudian menjadi cikal bakal Kota Banjarmasin. Seiring berdirinya kerajaan, aktivitas perdagangan di sepanjang sungai pun berkembang pesat. Lokasinya yang strategis—berada di pertemuan beberapa anak sungai—membuat pasar ini tumbuh secara alami sebagai pusat perdagangan. Selain pedagang lokal dari Kuin, pasar ini juga didatangi oleh para pedagang dari daerah sekitar seperti Tamban, Anjir, Alalak, dan Berangas.
Dalam buku Menguak Pasar Tradisional Indonesia karya J.J. Rizal dkk, disebutkan bahwa perkembangan ekonomi-politik Kerajaan Banjar ikut mendorong kemajuan pasar terapung. Jaringan perdagangan pun meluas, tak hanya antar wilayah di Kalimantan, tapi juga melibatkan pedagang dari Jawa, Gujarat, hingga Tiongkok. Pasar ini menjadi ruang pertemuan antar budaya dan jalur penting dalam perniagaan maritim masa itu.
Perkembangan ekonomi-politik Kerajaan Banjar ikut mendorong kemajuan pasar terapung.
“Keberadaan makam Raja Banjar di kawasan Makam Sultan Suriansyah, Kuin Utara, yang berdekatan dengan Pasar Terapung Muara Kuin juga dianggap sebagai bukti keterkaitan pasar ini dengan Kerajaan Banjar,” ujar J.J. Rizal dkk.
Ketika ibu kota Kerajaan Banjar dipindahkan ke Martapura, geliat perdagangan masyarakat pun ikut berpindah dan berkembang pesat di sepanjang aliran Sungai Martapura. Di salah satu anak sungainya yang bernama Lok Baintan, aktivitas jual-beli di atas air terus tumbuh dan membentuk sebuah pasar tradisional yang kemudian dikenal sebagai Pasar Terapung Lok Baintan.
Keterkaitan antara pusat pemerintahan dengan aktivitas perdagangan di sungai bukanlah hal yang mengejutkan. Seperti yang dijelaskan oleh Mohamad Idwar Saleh dalam Sekilas Mengenai Daerah Banjar dan Kebudayaan Sungainya, sampai dengan Akhir Abad ke-19, kota-kota lama maupun baru yang menjadi pusat permukiman penduduk umumnya terletak di tepi, persimpangan, atau muara sungai. Sungai menjadi urat nadi kehidupan, tempat masyarakat membangun pemukiman sekaligus menjalankan roda perekonomian.
Sungai menjadi urat nadi kehidupan, tempat masyarakat membangun pemukiman sekaligus menjalankan roda perekonomian.
“Konsentrasi pemukiman penduduk yang kuat dan besar kerap kali diiringi dengan penguasaan ekonomi dan perdagangan sungainya, lalu menjelma pusat-pusat keraton baru” ujar Mohamad Idwar Saleh.
Salah satu bukti keterkaitan antara pusat kerajaan dan aktivitas sungai dapat dilihat dari toponim Murung Keraton—di mana “murung” dalam bahasa Banjar berarti sungai. Kini, Murung Keraton merupakan sebuah kelurahan di Kecamatan Martapura, Kabupaten Banjar. Menurut Sunarningsih dalam artikelnya Martapura Kota Intan; Martapura Darussalam yang dimuat dalam jurnal Naditira Widya Vol. 1 No. 2 tahun 2007, nama tersebut menjadi petunjuk historis bahwa wilayah keraton pada masa lalu berada di sekitar Kampung Keraton Batuah dan meluas hingga ke tepi sungai, tepat di area yang kini terletak di samping pasar.
“Aktivitas pasar pada masa lalu juga mengambil posisi di sepanjang Sungai Martapura. Pada saat transportasi masih mengandalkan sungai, pasar yang ada pun juga berada di sungai. Aktivitas pasar terapung tersebut masih dapat kita lihat hingga saat ini di daerah Lok Baintan dan Kuin,” kata Sunarningsih.
Aktivitas perdagangan di Pasar Terapung Muara Kuin maupun Lok Baintan sudah dimulai sejak pagi buta.
Aktivitas perdagangan di Pasar Terapung Muara Kuin maupun Lok Baintan sudah dimulai sejak pagi buta, dan mencapai puncaknya sekitar pukul 6 hingga 7 pagi. Barang dagangan yang dijual umumnya berupa hasil pertanian dan perkebunan masyarakat setempat. Saat musim panen tiba, jumlah pedagang yang datang bisa meningkat drastis dibanding hari-hari biasa. Selain itu, keramaian juga memuncak pada hari pasar yang jatuh setiap hari Jumat.
Tak hanya buah dan sayur, aneka kudapan khas daerah pun turut meramaikan perahu-perahu dagang. Kue tradisional khas Banjar menjadi sajian yang paling banyak dicari. Bagi yang ingin sarapan berat, tersedia soto Banjar dan ketupat kandangan yang siap disantap langsung di atas perahu. Untuk memudahkan proses jual beli di tengah keramaian, setiap kelotok (perahu bermotor kecil) biasanya dilengkapi tongkat berkait kawat yang digunakan untuk menarik perahu lain agar mendekat dan transaksi bisa dilakukan dengan lebih mudah.
Tak hanya buah dan sayur, aneka kudapan khas daerah pun turut meramaikan perahu-perahu dagang.
Setelah bertahan selama ratusan tahun, Pasar Terapung Muara Kuin sempat mengalami masa surut, bahkan nyaris “tenggelam”—bukan oleh air, melainkan oleh derasnya laju pembangunan yang semakin berorientasi ke darat. Aktivitas yang dulu ramai perlahan meredup, meninggalkan jejak sejarah yang nyaris terlupakan. Namun, pada awal tahun 2020, pasar legendaris ini kembali dihidupkan.
Mengutip informasi dari laman Dinas Komunikasi, Informatika, dan Statistik Pemerintah Kota Banjarmasin, lokasi pasar yang dulunya berada di kawasan dermaga penyeberangan Alalak kini dipindahkan ke tempat yang lebih mudah diakses, yaitu di siring depan Makam Sultan Suriansyah. Bersamaan dengan relokasi ini, namanya pun diperbarui menjadi Pasar Terapung Kuin Alalak—menyesuaikan dengan letaknya yang berada di perbatasan antara daerah Kuin dan Alalak, Kecamatan Banjarmasin Utara.
Dua Wajah Pasar di Tengah Arus Zaman
Saat ini, Pasar Terapung Kuin Alalak dibuka setiap Sabtu dan Minggu pagi, kembali menghadirkan semangat perdagangan tradisional di atas air yang telah menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas kota Banjarmasin.
Berbeda dengan Muara Kuin yang sempat meredup, aktivitas di Pasar Terapung Lok Baintan masih berlangsung dengan semarak hingga hari ini. Setiap pagi, ratusan jukung berkumpul di permukaan Sungai Martapura untuk menjajakan berbagai kebutuhan sehari-hari. Para pedagang tak hanya berasal dari Lok Baintan, tetapi juga datang dari sejumlah kampung di sekitar anak sungai, seperti Sungai Paku Alam, Sungai Lenge, Sungai Saka Bunut, Sungai Tanifah, dan Sungai Madang.
Setiap pagi, ratusan jukung berkumpul di permukaan Sungai Martapura untuk menjajakan berbagai kebutuhan sehari-hari.
Pasar ini terletak di Lok Baintan, Kecamatan Sungai Tabuk, Kabupaten Banjar, dan telah menjadi magnet bagi wisatawan, baik lokal maupun mancanegara. Pengunjung yang ingin melihat langsung dinamika pasar di atas air dapat menyewa jukung atau klotok (perahu bermotor) dari titik-titik di sekitar Sungai Martapura.
Berbelanja sambil menyusuri sungai di tengah keramaian pasar menjadi pengalaman unik yang sulit dilupakan—sebuah perjumpaan langsung dengan tradisi sungai yang masih hidup dan bernapas hingga hari ini.