Cari dengan kata kunci

desa_woloan_1290.jpg

Menyambangi Desa Woloan, Markas Pengrajin Rumah Adat Minahasa

Ada pemandangan berbeda ketika melintasi sebuah desa di Jalan Raya Tomohon, yaitu rentetan rumah adat Minahasa yang berjajar di sepanjang kiri dan kanan jalan.

Pariwisata

Ada pemandangan berbeda ketika melintasi sebuah desa di Jalan Raya Tomohon, yaitu rentetan rumah adat Minahasa yang berjajar di sepanjang kiri dan kanan jalan. Dari sekitar rumah-rumah tersebut terdengar suara gergaji mesin menyeruak, di tempat inilah para pekerja sibuk dengan kayu-kayu yang menjadi bahan baku pembuatan rumah.

Masyarakat mengenalnya dengan Desa Woloan, desa di Kecamatan Tomohon Barat, Sulawesi Utara, yang sebagain besar penduduknya berprofesi sebagai pembuat rumah adat Minahasa. Fari, salah seorang pengrajin, mengungkapkan, rumah-rumah tersebut dibuat untuk dijual, bukan untuk dihuni sendiri. Harganya pun fantastis, karena mencapai angka ratusan juta rupiah.

“Biasanya kalau mau beli, dipesan dulu, ukurannya, motifnya. Kalau orang beli masih di kawasan Minahasa, kita bawa pakai truk, rumah yang sudah jadi kita bongkar kembali, nanti di tempat tujuan dipasang lagi. Kalau orang luar yang beli, kita bawa pakai kontener. Banyak pesanan dari luar negeri, misalnya Jepang, Filipina juga ada,” begitu tutur Fari melanjutkan.

Umumnya rumah adat Minahasa terbuat dari kayu besi, mengingat kayu jenis ini dianggap mempunyai struktur yang kuat dan mampu bertahan hingga ratusan tahun. Bahan baku kayu besi yang dipasok dari daerah Bolaang Mongodow ini kemudian diolah dan disusun, mulai dari membuat pondasi, pancang-pancang, hingga menjadi bentuk rumah dengan beberapa ruangan di dalamnya.

Rumah adat Minahasa secara umum terdiri dari beberapa ruangan, antara lain ruang makan, ruang tamu, kamar tidur, serta tambahan kamar mandi dan dapur. Menurut buku Sejarah dan Kebudayaan Minahasa yang ditulis oleh Jessy Wenas, dahulu bangunan rumah adat Minahasa dibuat dengan teknik ikat, yaitu menempel pada pohon yang tinggi. Hal ini dilakukan untuk menghindari banjir dan gangguan binatang buas.

Pada 1850, seorang peneliti dari Belanda, DR WR Van Hoevell, mencatat adanya perubahan yang terjadi pada rumah adat yang dipakai oleh suku Minahasa. Bermula dari rumah yang menempel pada pohon, kemudian berubah menjadi rumah panjang, dan yang bertahan hingga kini adalah rumah adat Minahasa berbentuk panggung. Rumah adat Minahasa berbentuk panggung terdiri dari dua jenis, yaitu berpilar batu (Wale Weiwangin) dan berpilar balok kayu (Wale Meito’tol). Jenis kedua inilah yang menjadi model rumah minahasa yang diperjual-belikan di Desa Woloan.

Rumah panggung berukuran lebih kecil dibandingkan dengan rumah panjang. Mengingat rumah ini hanya dihuni oleh satu keluarga saja. Ruang depan yang terbuka tanpa dinding disebut dengan loloan (fores). Masuk lebih ke dalam, akan ditemui beberapa ruangan, seperti ruang tamu, kamar tidur, dan loteng yang digunakan untuk menyimpan hasil panen atau juga digunakan sebagai tempat menjemur pakaian. Pada bagian belakang terdapat ruangan dapur (rarampoan). Uniknya dapur dibuat menempel ke belakang dengan rumah induk untuk menghindari kebakaran.

Rumah panggung Minahasa mempunyai dua tangga, yaitu di bagian kiri dan kanan. Tiang utama rumah disebut dengan Ari’i, yang pada bagian atasnya terdapat pintu masuk. Pada bagian badan rumah terdapat jendela (tetemboan), pada bagian itu diukir hiasan berupa gambar bunga atau tanaman. Konstruksi tumpangan balok yang melintang di atas tumpangan balok memanjang disebut dengan kalawit. Sementara konstruksi berbentuk huruf ‘X” disebut sumpeleng. Konstruksi-konstruksi tersebut saling berkait dan membentuk pondasi rumah yang kokoh. Uniknya meski bagian-bagian konstruksi direkatkan tanpa menggunakan satu pun paku, saat terjadi gempa, rumah adat Minahasa hanya akan bergeser tanpa mengalami kerobohan pada bagian-bagiannya.

Baca juga: Mengenal Masyarakat Adat Lampung Saibatin

[AhmadIbo/IndonesiaKaya]

Informasi Selengkapnya
  • Elsa Dwi Lestari

  • Indonesia Kaya

This will close in 10 seconds