Cari dengan kata kunci

rujak_juhi_12001.jpg

Tiga Budaya Besar di Balik Kenikmatan Rujak Juhi

Kuliner khas Betawi yang lahir dari pertautan kuliner Jawa, Sunda, dan Tionghoa.

Kuliner

Orang Betawi telah mendiami Jakarta selama ratusan tahun sejak kota ini bernama Batavia. Selama itu pula mereka berinteraksi dengan suku lainnya seperti Tionghoa, Sunda, dan Jawa. Interaksi itu memperkaya kebudayan Betawibahasa, adat istiadat, dan makanan. Yang disebut terakhir berbentuk mi juhi atau rujak juhi.

Rujak juhi menggunakan juhi sebagai bahan utamanya. Juhi merupakan cumi-cumi yang telah melalui proses fermentasi dan dikeringkan. Nama “juhi” sendiri diberikan oleh orang-orang Tiongkok yang menyukai jenis olahan ini. Selain itu, rujak juhi menggunakan bahan-bahan yang sehat serta alami. Bahan seperti kol, kentang, selada, dan timun menjadi bahan pelengkap makanan ini.

Rujak juhi menggunakan olahan cumi-cumi sebagai bahan utamanya.

Layaknya rujak pada umumnya, rujak juhi menggunakan bumbu atau saus sebagai penambah cita rasa. Yang membedakan dari rujak lainnya, rujak juhi tidak menggunakan saus yang diolah menggunakan gula jawa dan cabai, melainkan saus kacang yang segar. Tidak ketinggalan juga kerupuk mi yang menjadi kudapan pelengkap pada kuliner khas tanah Betawi ini. Kandungan bahan-bahan itu menyehatkan badan, sedangkan campurannya membuat lidah bergoyang.

Asal-usul rujak juhi terpaut erat dengan dua kebudayaan besar, yaitu Jawa dan Tionghoa. Rujak semula panganan khas wilayah Jawa Tengah. Kata rujak muncul dalam Prasasti Paradah dari masa Mataram Kuno berangka 943 M.

Asal-usul rujak juhi terpaut erat dengan dua kebudayaan besar, yaitu Jawa dan Tionghoa.

Titi Surti Nastiti dalam Perempuan Jawa: Kedudukan dan Peranannya dalam Masyarakat Abad VIII-XV menyebut rujak menjadi hidangan dalam upacara penetapan sebuah desa sebagai wilayah bebas pajak. ”[setelah] mempersembahkan bedak, bunga, rujak, menabuh [tuwung]lah sang matuwung (penabuh perkusi), berdirilah mereka semua,” catat Titi.

Istilah “rujak” berasal dari kata angrujak, yaitu memotong sesuatu menjadi bagian kecil-kecil. Semula kata ini umum dipakai dalam penggambaran pertempuran antara karakter antagonis dan protagonis.

Kemudian angrujak masuk dalam konteks pembuatan makanan berbahan buah. Jiri Jakl, ahli bahasa dari The University of Queensland, Australia, menyebut kata ini tertulis dalam dua kakawin kuno Jawa: Bhomantaka dan Smaaradahana.

Istilah “rujak” berasal dari kata angrujak, yaitu memotong sesuatu menjadi bagian kecil-kecil.

Dalam tesisnya, Literary Representations of War and Warfare in Old Javanese Kakawin Poetry, Jiri Jakl menyebut hidangan rujak sebagai pengganti hidangan daging. Dalam beberapa upacara masyarakat Jawa kuno, terdapat makanan berupa potongan daging yang disiram dengan darah. Tapi dalam upacara lainnya, potongan-potongan daging diganti dengan buah dan darah diubah jadi bumbu cabai dan gula merah.

Rujak di Jawa agaknya tersebar lewat perluasan kerajaan Hindu-Budha di Jawa Tengah dan Timur. Di bagian barat Jawa, rujak juga menjadi panganan penduduk. Ini terlihat dari tuturan lisan legenda Sangkuriang. Ada sebuah batu di Gunung Kaledong, Jawa Barat, yang dipercaya sebagai alat pembuat rujak.

Orang Sunda dan Jawa turut menjadi salah satu penduduk Batavia. Dari sinilah kemungkinan rujak masuk ke dalam khazanah kuliner orang Betawi. Abdul Chaer, penulis buku Betawi Tempo Doeloe, mengatakan rujak menjadi salah satu panganan favorit orang Betawi. “Orang Betawi suka sekali makan rujak, apalagi anak-anak dan gadis remaja,” kata Abdul Chaer.

Abdul Chaer juga menerangkan bahwa orang Betawi biasanya membuat rujak dari bebuahan. “Yang biasa dijadikan bahan rujak adalah mangga muda, jambu air, pepaya mengkel, bengkuang, dan sebagainya,” ujar Abdul Chaer.

Dalam kebudayaan Betawi, rujak terkait erat dengan tradisi nuju bulanin atau peringatan kehamilan bulan ketujuh.

Ridwan Saidi, budayawan Betawi, dalam Profil Orang Betawi: Asal Muasal, Kebudayaan, dan Adat Istiadat mengatakan rujak dalam kebudayaan Betawi terkait erat dengan tradisi nuju bulanin atau peringatan kehamilan bulan ketujuh. “Di antara orang-orang perempuan biasanya ada rujakan,” kata Ridwan. Rujak itu disebut rujak tujuh rupa karena terbuat dari tujuh jenis buah.

Lalu bagaimana dengan rujak juhi yang terbuat dari sayuran dan cumi-cumi? Ridwan menduga rujak ini terpengaruh kuliner Tionghoa. “Cina memperkenalkan mie, bihun, dan sohun, serta jenis sayuran seperti toge, kucai, lokio, dan sawi,” terang Ridwan. Kemungkinan orang Tionghoa pula yang mengonsumsi dan memperkenalkan daging cumi-cumi (seafood).

Zeffry Alkatiri, penulis buku Pasar Gambir, Komik Cina & Es Shanghai kelahiran 1959, mengisahkan rujak juhi sebenarnya berawal dari makanan bernama troktok. “Dibilang begitu karena penjualnya selalu menggetok potongan bambu sewaktu lewat di depan rumah. Bunyinya troktok,” kata Zeffry.

Troktok terbuat dari campuran kacang panjang yang dipotong pendek, kentang, juhi, mi, dan kol. Kuahnya berupa cuka dan kacang. Dia mengaku sewaktu kecil sering bertemu penjaja troktok. “Sekarang model itu berkembang menjadi rujak juhi yang dijajakan dengan gerobak,” lanjut Zeffry.

Keterangan Zeffry agak berbeda dari R.O. Simatupang, penulis Pedoman Tamasja Djakarta dan Sekitarnja. Dalam bukunya yang terbit pada 1960-an itu, Simatupang telah menulis nama rujak juhi.

Sekarang rujak juhi sudah dianggap bagian dari kuliner khas Betawi.

“Masakan Tionghoa yang kita bisa makan sambil nongkrong dan inilah yang menarik banyak tamu ialah wedang sekoteng Tiongkok yang pakai lengkeng, terate, tikwe; rujak juhi, rujak shanghai, pie-oh (sop kura-kura), nasi tim, bebek tim (sekba), baso sapi,” catat Simatupang. Ini klop dengan keterangan beberapa penjual rujak juhi Jakarta yang mengaku berjualan sejak 1960-an seperti rujak juhi Haji Misbach di Petojo, Jakarta Pusat.

Sekarang rujak juhi sudah dianggap bagian dari kuliner khas Betawi. Tapi penikmatnya tak terbatas orang Betawi saja, melainkan juga dari berbagai suku. Sebab, rasa enak tidak mengenal suku. Begitulah rujak juhi mampu mempertautkan bermacam orang.

Informasi Selengkapnya
  • Indonesia Kaya

  • Indonesia Kaya

  • Abdul Chaer. Betawi Tempo Doeloe. Depok: Masup Jakarta, 2015.
    Jiri Jakl. “Literary Representations of War and Warfare in Old Javanese Kakawin Poetry”, tesis pada School of Languages and Comparative Cultural Studies, The University of Queensland, Australia, 2014.
    Ridwan Saidi. Profil Orang Betawi: Asal Muasal, Kebudayaan, dan Adat Istiadat. Jakarta: Gunara Kata, 1997.
    Zeffry Alkatiri. Pasar Gambir, Komik Cina & Es Shanghai. Jakarta: Masup Jakarta, 2010.
    R.O. Simatupang. Pedoman Tamasja Djakarta dan Sekitarnja. Jakarta: Keng Po, 1965.
    Titi Surti Nastiti. Perempuan Jawa: Kedudukan dan Peranannya dalam Masyarakat Abad VIII-XV. Bandung: Dunia Pustaka Jaya, 2016.

This will close in 10 seconds